Rabu, 08 Desember 2010

CINTAKU YANG TAK SAMA, TAK AKAN PERNAH SAMA

Rasanya sulit mengatakan “aku sayang padamu”
lidah ini kelu, seolah tak pernah mengenalnya
Rasanya berat mengatakan “aku cinta padamu”
Karena cinta yang kupunya terasa palsu di depan cintamu

Pernah kutanyakan padamu, mengapa kau begitu sayang padaku
Kau hanya menjawab dengan seulas senyum dan belaian di kepalaku
Namun itu tak penting lagi bagiku
Karna ku tau, cintamu tak akan pernah mengenal untung rugi ataupun kemarau

Saat ini ingin ku katakan
Bu, aku sayang dan cinta padamu
Meski cinta dan sayangku tak sama dengan yang kau berikan
Karna memang tak akan pernah sama
Dan  kau tau Bu, akan selalu ku kasampaikan pada Nya
Agar engkau slalu bahagia disini dan dikehidupan abadi kita kelak

Jumat, 26 November 2010

Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku


Seharusnya kita mengerti adanya perbedaan mendasar antara bekerja dan menerima upah bekerja antara sesama manusia, dengan bekerja lalu menerima pahala antara manusia dan Allah swt.  Sebagian orang rancu  menganggap beramal atau bekerja dalam hubungan antar manusia, sama dengan beramal dalam hubungan dirinya dengan Allah swt.
Contohnya begini. Bila ada salah seorang kita bekerjadan berhak mendapat upahsebuah kebun. Apakah sama kondisinya, bila salah seorang kita beramal dan berhak mendapat balasan dari Allah swt berupa surga? Atau ungkapan sederhananya, apakah kita berhak mendapatkan balasan surga dari Allah swt karena amal amal yang kita lakukan? Seperti kita berhak mendapatkan upah dari manusia karena pekerjaan yang kita lakukan.
Saudaraku,
Jika itu bagian dari anggapan kita, berarti ungkapan dalam diri kita adalah “ Allah akan membalas pahala kepadaku, karena aku telah melakukan amal shalih sesuai perintah-Nya.” Dan bila itu yang terjadi itulah yang dikatakan mengandalkan amal, bukan mengedepankan Allah swt saat kita beramal.
Mari kita kaji lebih jauh masalah ini. Para salafushalih memiliki pandangan yang begitu dalam tentang hubungan amal seseorang dengan harapan penuh kepada pahala yang akan Allah berikan kepadanya. Dalam kitab Al Hikam tulisan Ibnu Athaillah misalnya, ia mengatakan, “Termasuk tanda seseorang   bersandar pada amalnya, adalah sikap kurang memiliki harapan saat terpeleset dan melakukan dosa.” Ungkapan Ibnu Athaillah ini adlah anjuran agar kita benar benar bersandar pada ridha Allah, bukan kepada pahala dan ganjaran yang Allah akan berikan atas amal yang kita lakukan. Shalat, puasa, shadaqah, beragam amal shalih. Kita benar benar berharap akan kelembutan, kasih sayang dan kemurahan Allah swt. Bukan pada amal amal sendiri.
Syaikh Al Buthi, saat menjelaskan ungakapan Ibnu Athaillah itu menguraikan, “Ketika Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah swt menolong, membantu, memfasilitasikita melakukan itu semua. Siapa yang menjadikan kita mampu mendirikan shalat? Siapa yang menjadikan kita kuat menahan lapar dan haus saat puasa? Siapa yang melapangkan hati kita untuk bisa menerima keimanan? Siapa yang mejadikan kita mau dan sanggup melangkah lalu mendatangi masjid untuk melakukan shalat berjamaah? Allah swt. Itu sebabnya Allah swt berfirman, “ Mereka merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang orang yang benar.” (QS. Al Hujurat: 17)
  Amal saja, bukan jaminan untuk masuk surge. Jadi, yang diminta dari kita adalah melakukan ketaatan dengan sangat ingin mendapatkan ridha Allah dan pahala dari Allah. Mengharap kemurahan Allah, ampunan-Nya, kelembutan Allah swt kepada kita melalui amal amal shalih yang dilakukan. Ada sandaran hadits yang paling tepat untuk ini. Rasulullah saw bersabda, “ Amal takkan memasukan seseorang kalian ke dalam surga.” Sahabat bertanya, “Apakah termasuk engkau ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Termasuk aku, kecuali Allah meliputiku dengan kasih sayang-Nya.”
Saudaraku,
Salah satu ciri orang yang mengandalkan amal dalam mengerjakan ketaatan, adalah ketika ia sedikit harapannya untuk bisa mendapatkan ampunan Allah swt saat melakukan kesalahan. Itu sambungan perkataan Ibnu Athaillah rahimahullah. Artinya, ketika amal amal yang kita lakukan sedikit, sementara kita juga melakukan dosa, hendaknya kita memohon, meminta dan berharap kepada Allah swt untuk terus member ampunan. Tidak pesismis atas rahmat Allah swt.
Mari merenung saudaraku,
Jangan sampai kita berkhayal dengan nodal amal amal shalih yang kita lakukan di dunia ini, lalu kita berarti telah menebus harga untuk berhak masuk surge. Sebab ketika kita bersyukur secara lisanatas karunia Allah kepada kita, kita juga harus bersyukur atas nikmat Allah yang menggerakan lisan dan hati ini untuk bersyukur. Jika kita berdiri shalat malam, maka kita harus bersyukur memuji Allah yang telah menolong dan membantu kita untuk bisa berdiri di hadapan-Nya, di tengah malam. Andai bukan karena kecintaan Allah kepada kita, andai bukan karena pertolongan dan bantuan Allah kepada kita, andai bukan karena kebaikan dan kelembutan Allah kepada kita, kita takkan bisa melakukan itu semua.
Saudaraku,
Ada kisah seorang istri shalihat di zaman salafushalih. Suatu malam, sang suami bangun tengah malam dan melihat istrinya sedang shalat di salah satu sudut rumahnya. Dalam shalat itu, ia mendengar ungkapan yang diucapkan istrinya saat sujud.” Ya Allah aku sungguh memohon cinta-Mu kepadaku untuk bisa membahagiakanku, menjadikan aku sehat dan menjadikan aku mulia di hadapan Mu … dan seterusnya.
Sang suami heran mendengar doa ini. Ia menunggu sampai istrinya selesai shalat dan memanggilnya. “ Mengapa engkau meminta seperti itu kepada Allah?. Katakanlah: ya Allah dengan cintaku kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu agar membahagiakan aku, memuliakan aku …dan seterusnya.” Istrinya menjawab, “ Syamiku, andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, maka aku tidak akan sanggup bangun bangun di waktu seperti sekarang ini. Andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan bisa berdiri di hadapan Nya sekarang. Andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, akupun takkan bisa berucapkan doa seperti tadi.”
Saudaraku,
Seperti itulah ruh dari do’a yang dikisahkan oleh Syaikh Al Bouthi, bahwa salah satu hal yang diajarkan ayahnya dalam doa adalah dengan mengatakan, “ Ya Rabb, aku bersyukur kepada-Mu, akan tetapi Engkaulah yang menginspirasikan aku untuk bersyukur kepada-Mu dan mengahruskan aku bersyukur pula karena Engkau telah membantuku untuk bisa bersyukur kepada-Mu. Engkaulah pencipta segala sesuatu. Engkau lah yang Maha lembut kepadaku di setiap keadaan…”
Ditulis oleh: M Lili nur Aulia dalam Tarbawi edisi 240 Th.12, Dzulhijjah 1431, 2 desember 2010 

Senin, 22 November 2010

Sekat

Siang itu saya diajak oleh seorang teman untuk makan di sebuah mall di Cirebon. Hmmm… klo bukan karna diajak, agak kurang nyaman makan disana (bukan apa apa, mahalnya ito lho he…). Kami pilih tempat duduk yang paling nyaman untuk mengobrol panjang lebar. Karna memang rencana awal pertemuan ini sebagai ajang curhat curhatan.
Mulailah cerita mengalir satu persatu sambil di temani makanan yang telah kami pesan. Sampai pada satu titik pernyataan teman saya yang membuat napas saya sedikit tertahan, “Saya ga akan bisa temenan sama orang yang ga pernah shalat, tidak berjilbab atau pemahaman mengenai agamanya kurang.”
Kembali pikiran saya teringatkan dentang komentar teman teman saya dulu di SMA. “Huh anak rohis temenannya sama anak rohis lagi”. Ternyata setelah sekian tahun saya meninggalkan bangku SMA, masih ada sekat sekat ini.
Disini ada sisi kekhawatiran akan terwarnainya nilai nilai islami yang telah tertanam. Dan memang kewajiban kita menjaga hidayah yang telah sampai itu. Tapi di sisi lain ada kewajiban kita kepada sesama untuk mempergauli setiap orang dengan baik. Tidak mensekat sekat dengan alasan jilbab dengan tidak berjilbab, pandai dalam agama ataupun lemah dalam agama dan lain sebagainya. Karna ternyata hikmah dapat kita peroleh dari siapa saja.
“Met udah telepon mamah?”
“Gimana mamah dah sehat?”
“iya nangis aja. Tapi jangan lama lama ya.”
Hmmm… itu ungkapan uangkapan kecil yang mendalam di hati saya. Ada sesuatu yang meresap ke hati. Dan taukah kalimat kalimat ajaib itu keluar dari siapa? Dari orang yang bukan berlabel jilbaber atau berjenggot panjang. Dari kalimat kalimat ajaib itu saya belajar bagaimana menunjukan perhatian dan berbagi kasih sayang.

Thaks to G ^^



Minggu, 21 November 2010

Manusia Bertelur

Sudah bertahun-tahun Baginda Raja Harun Al Rasyid ingin mengalahkan Abu Nawas. Namun perangkap-perangkap yang selama ini dibuat semua bisa diatasi dengan cara-cara yang cemerlang oleh Abu Nawas. Baginda Raja tidak putus asa. Masih ada puluhan jaring muslihat untuk menjerat Abu Nawas.
Baginda Raja beserta para menteri sering mengunjungi tempat pemandian air hangat yang hanya dikunjungi para pangeran, bangsawan dan orang-orang terkenal. Suatu sore yang cerah ketika Baginda Raja beserta para menterinya berendam di kolam, beliau berkata kepada para menteri, "Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas."
"Apakah itu wahai Paduka yang mulia ?" tanya salah seorang menteri.

"Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya menghendaki kalian datang lebih dini besok sore. Jangan lupa datanglah besok sebelum Abu Nawas datang karena aku akan mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita." kata Baginda Raja memberi pengarahan. Baginda Raja memang sengaja tidak menyebutkan tipuan
apa yang akan digelar besok.
Abu Nawas diundang untuk mandi bersama Baginda Raja dan para menteri di pemandian air hangat yang terkenal itu. Seperti yang telah direncanakan, Baginda Raja dan para meriteri sudah datang lebih dahulu. Baginda membawa sembilan belas butir telur ayam. Delapan belas butir dibagikan kepada para menterinya. Satu butir untuk dirinya sendiri. Kemudian Baginda memberi pengarahan singkat tentang apa yang telah direncanakan untuk menjebak Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas datang, Baginda Raja beserta para menteri sudah berendam di kolam. Abu Nawas melepas pakaian dan langsung ikut berendam. Abu Nawas harap-harap cemas. Kira-kira permainan apa lagi yang akan dihadapi. Mungkin permainan kali ini lebih berat karena Baginda Raja tidak memberi tenggang
waktu untuk berpikir.
Tiba-tiba Baginda Raja membuyarkan lamunan Abu Nawas. Beliau berkata, "Hai Abu Nawas, aku mengundangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau ikut dalam permainan kami"
"Permainan apakah itu Paduka yang mulia ?" tanya Abu Nawas belum mengerti.
"Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh binatang. Sebagai manusia kita mesti bisa dengan cara kita masing-masing." kata Baginda sambil tersenyum.
"Hamba belum mengerti Baginda yang mulia." kata Abu Nawas agak ketakutan.
"Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam dan barang siapa yang tidak bisa bertelur maka ia harus dihukum!" kata Baginda.
Abu Nawas tidak berkata apa-apa. Wajahnya nampak murung. la semakin yakin dirinya tak akan bisa lolos dari lubang jebakan Baginda dengan mudah. Melihat wajah Abu Nawas murung, wajah Baginda Raja semakin berseri-seri.
"Nan sekarang apalagi yang kita tunggu. Kita menyelam lalu naik ke atas sambil menunjukkan telur kita masing-masing." perintah Baginda Raja.
Baginda Raja dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas satu persatu dengan menanting sebutir telur ayam. Abu Nawas masih di dalam kolam. ia tentu saja tidak sempat mempersiapkan telur karena ia memang tidak tahu kalau ia diharuskan bertelur seperti ayam. Kini Abu Nawas tahu kalau Baginda Raja dan para menteri telah mempersiapkan telur masing-masing satu butir. Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur dan tidak akan pernah ada yang bisa.
Karena dadanya mulai terasa sesak. Abu Nawas cepat-cepat muncul ke permukaan kemudian naik ke atas. Baginda Raja langsung mendekati Abu Nawas.
Abu Nawas nampak tenang, bahkan ia berlakau aneh, tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara seperti ayam jantan berkokok, keras sekali sehingga Baginda dan para menterinya merasa heran.
"Ampun Tuanku yang mulia. Hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para menteri." kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.
"Kalau begitu engkau harus dihukum." kata Baginda bangga.
"Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas memohon.
"Apalagi hai Abu Nawas." kata Baginda tidak sabar.
"Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hamba membela diri. Sebenarnya kalau hamba mau bertelur, hamba tentu mampu. Tetapi hamba merasa menjadi ayam jantan maka hamba tidak bertelur. Hanya ayam betina saja yang bisa bertelur. Kuk kuru yuuuuuk...!" kata Abu Nawas dengan membusungkan dada.
Baginda Raja tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Baginda dan para menteri yang semula cerah penuh kemenangan kini mendadak berubah menjadi merah padam karena malu. Sebab mereka dianggap ayam betina.
Abu Nawas memang licin, malah kini lebih licin dari pada belut. Karena merasa malu, Baginda Raja Harun Al Rasyid dan para menteri segera berpakaian dan kembali ke istana tanpa mengucapkan sapatah kata pun.
Memang Abu Nawas yang tampaknya blo'on itu sebenarnya diakui oleh para ilmuwan sebagai ahli mantiq atau ilmu logika. Gampang saja baginya untuk membolak-balikkan dan mempermainkan kata-kata guna menjatuhkan mental lawan-lawannya.