Hj Nurjannah Hulwani dalam
Tarbawi edisi 277 oleh Purwanti dalam kolom Dzikroyat
Pada tanggal 8 Mei lalu,
saya dan rombongan, Soeripto, Ali Amril dan DR Muqoddam Cholil dari komite
Nasional untuk rakyat Palestina (KNRP), Eko Anugrah dari KNRP Nusa Tenggara
Barat, sueyana Marjana Sastra dari PKPU, Heri Effendi dan Bachtiar Nasir dari ASPAC
for Palestine, Maryam Rachmayani dari ADARA relief Internasional, Wirianingsih
dari persaudaraan Muslimah (SALIMAH), dan Akhmad Sadeli Karim dari Mathla’ul
Anwar, berkesempatan datang ke Palestina.
Ini adalah perjalan kedua
setelah akhir tahun 2009 lalu. Tujuan kami datang waktu itu adalah memberikan
empati kepada warga Gaza pazca perang Furqan yang berlangsung besar besaran selama 22 hari pada tahun 2008. Diperkirakan pada saat
itu, ada 43 negara yang akan melakukan munasharah untuk memberikan empati, namun gagal. Di kelompok lain ada 16 negara eropa
yang sudah mabit (menginap) selama 30 hari dengan membawa 1.500 kontainer
bantuan. Mereka berangkat dengan kekuatan lembaga. Dalam perjalanan kali ini,
kami membawa rombongan di bawah bendera ASPAC for Palestine.
Sebelum bergabung dengan
rombongan ASPAC for Palestine, rencananya kami akan masuk ke dalam rombongan
Syaddul Rihal yang terdiri dari 150-200 orang dari 20 negara. Keberangkatan pun
sempat mengalami penunndaan. Awalnya
kami akan berangkat pada tanggal 10-12 April, namun akhirnya di tunda hingga
2-9 Mei. Tapi ditunda lagi hingga final tanggal 8 Mei 2012 kami berangkat
menuju Mesir. Saya sudah mengalami
perjanan ini sebelumnya, dan penundaan-penundaan ini adalah bagian dari proses
kami bisa mewujudkan mimpi bertemu saudara-saudara kami di Gaza.
Ketika tiba di Mesir, kami
mendapat beberapa kabar bahwa ada rombongan pengusaha dari berbagai macam
negara sudah sampai di pintu Rafah tapi tidak bisa masuk, padahal mereka sudah
mengantongi izin. Ada juga sebagian kelompok Sahabat al Aqsha yang harus lewat
terowongan. Kabar-kabar itu membuat perasaan saya berkecamuk, seperti diaduk
aduk. Perasaan seperti ini ujiann juga sebenarnya, tapi kita berdoa saja supaya
Allah beri kemudahan. Rencananya kami berangkat menuju Gaza pada tanggal 13
Mei.
Beberapa hari di Mesir kami
melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai tempat. Mesir juga salah satu pusat
peradaban. Kami mengunjungi museum, masjid adan piramid. Setelah itu, kami
dapat kabar bahwa pada tanggal 13 mei kami bisa berangkatmenuju Rafah yang
waktu tempuhnya hanya 6 jam. Kami dapat kabar bahwa pintu Rafah akan dibuka
tanggal 20 Mei. Saya jadi teringat penundaan-penundaan pada banyak aliansi
internasional. Saya sampai bertanya – tanya, apa benar bisa dipastikan tanggal
20 Mei pintu Rafah dibuka? Tapi, sebelum berangkat, teman-teman dari Indonesia
sudah menyiapkan banyak alternatif. Pertama, kami berangkat atas nama ASPAC
yang punya kekuatan lembaga. Kedua, kami mengantongi surat izin, baik izin dari
Syaddur Rihal maupun izin personal dan izin khusus. Hati benar-benar gelisah
mennati tanggal 20 Mei. Sampai rombongan inti mempersiapkan berangkat keesokan
harinya. Mendengar hal itu hati saya berbunga-bunga.
Pada saat perjalanan,
sangat jauh berbeda ketika Husni Mubarak masih berkuasa dengna kondisi
sekarang. Meskipun saat itu yang masih berkuasa di Mesir adalah militer. Kami
sempat tidak nyaman juga karena jarak chek point di Al Arish cukup jauh,
sekitar 6 jam perjalanan. Dan dari Al Arish masih 40 kilometer menuju Rafah.
Dengan berbekal surat dan tim negosiasi yang handal, akhirnya kami berangkat di
kawak panser-panser menuju Al Arish. Kami benr-benar merasa terhormat.
Setiba di Al Arish, kami
diberi tahu bahwa barang yang di bawa tidak boleh terlalu banyak. Di situ kami
juga mnedengar kabar bahwa di pintu Rafah ada semacam demo. Kami pun menunggu
selama 3 jam dengan dikawal panser. Kita harus berprasangka baik, karena memnag
niat kita baik. Allah takdirkan kami berangkat dengann niat yang sama, adan
selama perjalanan kami banyak berdzikir. Alhamdulillah,
perjalanan kami mulus hingga ke Rafah.
Salah satu rombongan kami,
belum memilki visa. Dari awal kami sudah berikan gambaran bagi yang belum
memilki visa akan masuk Gaza mellaui terowongan. Tapi sebelum itu, kami
perjuangkan negosiasi agar semua bisa masuk melaui pintu Rafah. Setelah satu ja
menunggu, akhirnya izin itu keluar. Ada salah satu anggota rombongan, spontan
menangis karna sudah lima kali ke Rafah tapi tidak bisa masuk. Sampai ada
kata-kata “air mata kalian tidak akan kami lupakan”. Saking gembiranya, kami
tidak tahu kalo Rafah itu bukan Gaza.
Setelah penerimaan yang
pertama, kami di bawa dengan kendaraan yang cukup bagus menuju hotel di Gaza.
Di situ saya sudah mulai berpikir, apakah pengetahuan saya tentang Gaza sama
sperti yang saya kira selama ini? Sampai saya bawa pakaian hanya 3 lembar di
dalam ransel. Setibanya di Gaza, saya tidak bisa merasionalisasikan apa yang
saya lihat. Benarkah ini Gaza? Disana saya disambut dengan sangat baik. Sambutan
yang begitu tulus dari lubuk hati mereka yang paling dalam, terasa bukan basa
basi.
Gaza berpenduduk 1,8 juta
jiwa dengan luas wilayang yang mungkin hanya seluas kota Bogor, Jawa Barat. Sekitar 400 ribu penduduknya adalah orang
mapan yang mengurusi 1,4 juta jiwa sisanya. Penduduk yang 1,4 juta jiwa inilah
yang hidup dalam kondisi yang sangat terbatas. Ada di antara mereka yang hidup
di pengungsian, tanah mereka dirampas Yahudi, air kurang, listrik terbatas,
tidak ada pekerjaan. Ternyata Allah siapkan diantara 1,8 penduduknya untuk
duduk di kementrian, parlemen, lembaga sosial dan lainnya. Mereka harus punya
izzah (kemuliaan) dihadapan Yahudi dan Israel. Daris egi akademis hingga
penampilan mereka layak berada di garis depan menghadang Israel. Jarang diantara
mereka yang hanya sarjana S1, tapi S2 dan S3. Bayangkan dalam kondisi tertindas
mereka melakukan pekerjaan yang profesional. Nilai plusnya, mereka rata-rata
hapal Al-Quran.
Kami menjalani jadwal yang
sangat padat di sana. Jam 9 pagi kumpul dan pulang ke hotel bisa jam 4 sore.
Dan ini sessuatu ynag sudah lama kami nantikan. Dalam jadwal itu, kami
melakukan kunjungan-kunjungan ke tokoh-tokoh Palestina. Perjalanan kami ke Gaza
kali ini, benar-benar menguras air mata. Ada banyak cerita penuh ibroh dan mengguncang
ruhiyah. Kalau selama ini kami hanya dengar dari banyak sumber, di sini kami
benar-benar menyaksikannya.
Seperti selama ini, saya
hanya dengar dan baca kisah perjuangan Syaikh Ahmad Yasin. Di sana, saya bisa bertemu istrinya, saya
bisa menggendong cucunya. Selama ini saya juga tahu Syaikh ar Rantisi dari
orang lain, di sisni saya bisa bertemu istrinya dan melihat makamnya. Dan rumah
Ismail Haniya, perdana menteri Palestina, lokasinya tidak jauh dari rumah Syaikh
Ahmad Yasin dan Syaikh Ar Rantisi.
Ketika kami datang ke
keluarga Syaikh Ahmad Yasin, kami sudah diceritakan siapa Syaikh Ahmad Yasin
itu mulai dari profilnya, rumahnya dan perubahan luar biasa yang dilakukannya.
Semula penduduk Gaza jauh dari agama, masjid-masjid kosong. Tapi sememnjak dakwah
yang dilakukan Syaikh Ahmad Yasin, masjid selalu luber, penuh. Kemudian
pemuda-pemuda datang ke masjid untuk memenuhi masjid yang dulunya diimami oleh
orang yang buta dan tua, sekarang berganti dengan yang muda dan intelek. Sampai
tidak ada bioskop di Gaza yang sebelumnya marak. Saat istri Syaikh Ahmad Yasin
menceritakan itu, rasanya tidak ada jarak di antara kami. Bagaimana gambaran
masjid tempat Syaikh Ahmad Yasin melaksanakan shalat yang hancur diroket masih
ada, selendangnya, segala macam kenangan akan sang Syahid.
Belum lagi ketika kita
datang ke makam. Cerita-cerita hidup itu terasa menghantam ruhiyah kami.
Dikatakan ada kuburan yang bertulikan ‘kullu
nafsin dzaa ikotul maut’ (setiap yang bernyawa pasti akan mati) ditujukan
untuk orang yang meninggall biasa, seperti karena sakit atau karena tua. Tapi
kalo yang meninggal itu syahid, ada tlisan ayang artinya “Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu
hidup di sisi Tuhan-nya dengan mendapat rezeki”(Dikutip dari Al Quran surat Ali
imran ayat 169-171).
Lalu say atunjuk salah satu
makam yang meninggal syahid. Ternyata itu adalah kuburan Syaikh Syiam. Dia
adalah orang ketiga belas kakap yang dibidik Israel. Satu makan ada tiga orang,
satu anaknya dan keponakannya. Tubuh ketiganya hancur, kecuali kepalanya. Dan
anaknya yang berusia 22 tahun hanya tinggal cincinnya. Bagaimana saya merasa
tidak terpanggil, saya harus bertemu dengan ibu dari pemuda. Alhamdulillah,
kamu bertemu dengan Ummu Mus’ab. Disitu kami diceritakan sebuah kisah yang luar
biasa. Mereka mengorbankan seluruh harta yang dimiliki, suami yang mereka
cintai, anak yang mereka kasihi dan sayangi, demimempertahankan kemuliaan Gaza.
Setelah itu pergilah kami
ke kelompok-kelompok tahfidz, dan kelompok cacat yang tengah direhabilitasi. Selama
ini biasanya kami melihat orang cacat karena kecelakaan. Mereka mengorbankan
seluruh tubuh mereka untukk kemuliaan Al Aqsa. Disitu saya melihat mata yang
tak lagi melihat, kaki yang tak bisa lagi berjalan. Tapi, di wajah mereka tak
saya lihat guratan kesedihan sedikitpun. Saya jadi beratanya-tanya, kontribusi
apa yang susah kita berikan demi kemuliaan Islam.
Yang banyak orang tahu,
padang pasir sulit ditumbuhi tanaman. Tapi di sini, saya melihat tanaman sayur
dan buah tumbuh subur. Yang mereka tanam semuanya berkualitas. Kami mengunjungai
Menteri Palestina, dia bilang “kalian tahu kapan tumbuhan di sini tumbuh subur
di bumi yang gersang? Sejak blokade 2006. Kami tanah-tanah kami disirami
darah-darah syuhada”. Lalu Menteri Pertanian itu mencanangkan bahwa produk
nasional sudah menjadi keputusan yang sudah tidak bisa di tawar lagi. Sebelumnya,
mereka bergantung pada Israel. Saat ini, mereka mampu swadaya dan tidak
membutuhkan pasukan dari Israel.
Bayangkan 98 persen mereka
tidak bergantung lagi pada Israel. Ayam, tanaman buah, sayur-mayur, lauk-pauk,
semua mereka adakan sendiri. Kami diminta mencabut tanaman paprika dan anggur
yang tumbuh sangat subur. Dengan buah yang dihasilkan sangat berkualitas. Para petani
pemilik tanaman itu berkata “silahkan ambil, karena bumi Palestina adalah rumah kalian”. Tidak ada
petani yang melarang kami petik tanamannya.
Menteri Pertanian Palestina
adalah sosok menteri yang kami rasa layak menjadi pemimpin di Gaza ini. Dia pernah
dipenjara selama tiga tahun, dan selama itu di amenghapal 30 juz Al Quran. Dia
mampu menghapal surat An Nisa selama 9 jam.
Di Gaza, buta huruf
medekati nol persen. Mulai dari yang buta, atau kaum difabel digratiskan
sekolahnya. Saya juga diundang oleh 15 yayasan perempuan, seluruh perempuan
yang ada di tempat itu bekerja seolah-olah mereka merdeka. Dalam kondisi
blokade, tertindas mereka mampu memberdayakan perempuan, melakukan pelatihan
keterampilan, P3K, merehabilitasi mentalitas karena serangan-serangan. Dan untuk
melakukan itu, mereka tidak membutuhkan ruangan yang besar, tapi ide-ide yang
cermerlang.
Orang berlomba-lomba
mendaftarakan diri sebagai penghapal Al-Quran. Bahkan ada lembaga tahfidz
perempuan yang sduah independen. Mereka tidak butuh guru laki-laki lagi. Mereka
merasa bumi ini adalah bumi yang disucikan Allah, dan mereka harus
memepertahankan bahkan merebut. Dan, banyak sekali tanah-tanah yang dirampas
Israel, bisa mereka ambil kembali. Kata Ismail Haniya, “Sejengkal pun tak akan
pernah membiarkan tanah Gaza di rampas Israel dan harus kembali kepada kami
sebagai pemiliknya”. Bersama itu ada tanda-tanda tulisan “85 kilometer lagi
mendekati Al Quds”. Mereka sangat yakin kemenangan itu makin dekat.
Kami dengar ceramah-ceramah
mereka. Disitu mereka bilang, jika Israel bisa menghancurkan infrastruktur
kami, tapi Israel tidak akan pernah bisa menghancurkan keinginan kami yang
kokoh untuk mempertahankan Gaza ini. Mereka katakan, “kami tahu kami menderita,
susah, tapi persoalan Al Aqsa adalah lebih utama dari persoalan penderitaan
kami”. Jujur, setelah melihat semua keajaiban itu, saya merasa sebenarnya bukan
Gaza yang mendapat manfaat dari kedatangan kami, tetapi kamilah yang mendapat
banyak hal selama berada di sini. Saya bisa simpulkan, bahwa apa yang saya
ketahui tentang Gaza selama ini hanya 10 persen saja. Sisanya saya saksikan
sendiri.
Yang dibutuhkan Gaza itu
sebenarnya hanya dua. Pertama adalah blokade itu harus di cabut. Kedua,
pengakuan internasional. Mereka merasa ada hak-hak mereka pada kita. Hak-hak
ukhuwah. Mereka bilang, “kewajiba kalianlah yang memberikan informasi ini
kepada dunia internasional agar blokade kami dilepas dan kami mendapat pengkuan
internasional”.
Seringkali tercium aroma
bunga yang sangat harum melintas. Ketika saya tanya salah satu Syaikh, aroma
apa ini, dia bilang kalau wangi itu adalah aroma kasturi. Dia bilang, ada
peristiwa orang yang syahid.
Jika mereka benar-benar
lepas dari blokade, Gaza akan melejit menjadi negara yang sangat kuat. Dari segi
intelektual hingga penampilan. Mereka sepertinya sudah memahami pekerjaan dan
kewajibannya masing-masing.
Dulu, almarhumah Yoyoh
Yusroh, hanya enah jam berada di Gaza. Dan itu dalam kondisi pasca perang. Kesempatan
kali ini kami jadi suatu anugerah. Yang namanya masuk Plasetina harus
diniatkan. Palestina harus ada dalam cinta kita. Bisa membuktikan cinta itu
adalah abugerah yang sangat besar. Setidaknya itu yang saya rasakan setelah
menyaksikan selaksa keajaiban di Gaza.