Senin, 11 Juni 2012

Cerita Cerita Hidup mereka Menghantam Kesadaran Kami


Hj Nurjannah Hulwani dalam Tarbawi edisi 277 oleh Purwanti dalam kolom Dzikroyat

Pada tanggal 8 Mei lalu, saya dan rombongan, Soeripto, Ali Amril dan DR Muqoddam Cholil dari komite Nasional untuk rakyat Palestina (KNRP), Eko Anugrah dari KNRP Nusa Tenggara Barat, sueyana Marjana Sastra dari PKPU, Heri Effendi dan Bachtiar Nasir dari ASPAC for Palestine, Maryam Rachmayani dari ADARA relief Internasional, Wirianingsih dari persaudaraan Muslimah (SALIMAH), dan Akhmad Sadeli Karim dari Mathla’ul Anwar, berkesempatan datang ke Palestina.

Ini adalah perjalan kedua setelah akhir tahun 2009 lalu. Tujuan kami datang waktu itu adalah memberikan empati kepada warga Gaza pazca perang Furqan yang berlangsung  besar besaran selama 22  hari pada tahun 2008. Diperkirakan pada saat itu, ada 43 negara yang akan melakukan munasharah  untuk memberikan empati, namun  gagal. Di kelompok lain ada 16 negara eropa yang sudah mabit (menginap) selama 30 hari dengan membawa 1.500 kontainer bantuan. Mereka berangkat dengan kekuatan lembaga. Dalam perjalanan kali ini, kami membawa rombongan di bawah bendera ASPAC for Palestine.

Sebelum bergabung dengan rombongan ASPAC for Palestine, rencananya kami akan masuk ke dalam rombongan Syaddul Rihal yang terdiri dari 150-200 orang dari 20 negara. Keberangkatan pun sempat mengalami penunndaan.  Awalnya kami akan berangkat pada tanggal 10-12 April, namun akhirnya di tunda hingga 2-9 Mei. Tapi ditunda lagi hingga final tanggal 8 Mei 2012 kami berangkat menuju Mesir.  Saya sudah mengalami perjanan ini sebelumnya, dan penundaan-penundaan ini adalah bagian dari proses kami bisa mewujudkan mimpi bertemu saudara-saudara kami di Gaza.

Ketika tiba di Mesir, kami mendapat beberapa kabar bahwa ada rombongan pengusaha dari berbagai macam negara sudah sampai di pintu Rafah tapi tidak bisa masuk, padahal mereka sudah mengantongi izin. Ada juga sebagian kelompok Sahabat al Aqsha yang harus lewat terowongan. Kabar-kabar itu membuat perasaan saya berkecamuk, seperti diaduk aduk. Perasaan seperti ini ujiann juga sebenarnya, tapi kita berdoa saja supaya Allah beri kemudahan. Rencananya kami berangkat menuju Gaza pada tanggal 13 Mei.

Beberapa hari di Mesir kami melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai tempat. Mesir juga salah satu pusat peradaban. Kami mengunjungi museum, masjid adan piramid. Setelah itu, kami dapat kabar bahwa pada tanggal 13 mei kami bisa berangkatmenuju Rafah yang waktu tempuhnya hanya 6 jam. Kami dapat kabar bahwa pintu Rafah akan dibuka tanggal 20 Mei. Saya jadi teringat penundaan-penundaan pada banyak aliansi internasional. Saya sampai bertanya – tanya, apa benar bisa dipastikan tanggal 20 Mei pintu Rafah dibuka? Tapi, sebelum berangkat, teman-teman dari Indonesia sudah menyiapkan banyak alternatif. Pertama, kami berangkat atas nama ASPAC yang punya kekuatan lembaga. Kedua, kami mengantongi surat izin, baik izin dari Syaddur Rihal maupun izin personal dan izin khusus. Hati benar-benar gelisah mennati tanggal 20 Mei. Sampai rombongan inti mempersiapkan berangkat keesokan harinya. Mendengar hal itu hati saya berbunga-bunga.

Pada saat perjalanan, sangat jauh berbeda ketika Husni Mubarak masih berkuasa dengna kondisi sekarang. Meskipun saat itu yang masih berkuasa di Mesir adalah militer. Kami sempat tidak nyaman juga karena jarak chek point di Al Arish cukup jauh, sekitar 6 jam perjalanan. Dan dari Al Arish masih 40 kilometer menuju Rafah. Dengan berbekal surat dan tim negosiasi yang handal, akhirnya kami berangkat di kawak panser-panser menuju Al Arish. Kami benr-benar merasa terhormat.

Setiba di Al Arish, kami diberi tahu bahwa barang yang di bawa tidak boleh terlalu banyak. Di situ kami juga mnedengar kabar bahwa di pintu Rafah ada semacam demo. Kami pun menunggu selama 3 jam dengan dikawal panser. Kita harus berprasangka baik, karena memnag niat kita baik. Allah takdirkan kami berangkat dengann niat yang sama, adan selama perjalanan kami banyak berdzikir. Alhamdulillah, perjalanan kami mulus hingga ke Rafah.  

Salah satu rombongan kami, belum memilki visa. Dari awal kami sudah berikan gambaran bagi yang belum memilki visa akan masuk Gaza mellaui terowongan. Tapi sebelum itu, kami perjuangkan negosiasi agar semua bisa masuk melaui pintu Rafah. Setelah satu ja menunggu, akhirnya izin itu keluar. Ada salah satu anggota rombongan, spontan menangis karna sudah lima kali ke Rafah tapi tidak bisa masuk. Sampai ada kata-kata “air mata kalian tidak akan kami lupakan”. Saking gembiranya, kami tidak tahu kalo Rafah itu bukan Gaza.

Setelah penerimaan yang pertama, kami di bawa dengan kendaraan yang cukup bagus menuju hotel di Gaza. Di situ saya sudah mulai berpikir, apakah pengetahuan saya tentang Gaza sama sperti yang saya kira selama ini? Sampai saya bawa pakaian hanya 3 lembar di dalam ransel. Setibanya di Gaza, saya tidak bisa merasionalisasikan apa yang saya lihat. Benarkah ini Gaza? Disana saya disambut dengan sangat baik. Sambutan yang begitu tulus dari lubuk hati mereka yang paling dalam, terasa bukan basa basi.

Gaza berpenduduk 1,8 juta jiwa dengan luas wilayang yang mungkin hanya seluas kota Bogor, Jawa Barat.  Sekitar 400 ribu penduduknya adalah orang mapan yang mengurusi 1,4 juta jiwa sisanya. Penduduk yang 1,4 juta jiwa inilah yang hidup dalam kondisi yang sangat terbatas. Ada di antara mereka yang hidup di pengungsian, tanah mereka dirampas Yahudi, air kurang, listrik terbatas, tidak ada pekerjaan. Ternyata Allah siapkan diantara 1,8 penduduknya untuk duduk di kementrian, parlemen, lembaga sosial dan lainnya. Mereka harus punya izzah (kemuliaan) dihadapan Yahudi dan Israel. Daris egi akademis hingga penampilan mereka layak berada di garis depan menghadang Israel. Jarang diantara mereka yang hanya sarjana S1, tapi S2 dan S3. Bayangkan dalam kondisi tertindas mereka melakukan pekerjaan yang profesional. Nilai plusnya, mereka rata-rata hapal Al-Quran.

Kami menjalani jadwal yang sangat padat di sana. Jam 9 pagi kumpul dan pulang ke hotel bisa jam 4 sore. Dan ini sessuatu ynag sudah lama kami nantikan. Dalam jadwal itu, kami melakukan kunjungan-kunjungan ke tokoh-tokoh Palestina. Perjalanan kami ke Gaza kali ini, benar-benar menguras air mata. Ada banyak cerita penuh ibroh dan mengguncang ruhiyah. Kalau selama ini kami hanya dengar dari banyak sumber, di sini kami benar-benar menyaksikannya.

Seperti selama ini, saya hanya dengar dan baca kisah perjuangan Syaikh Ahmad Yasin.  Di sana, saya bisa bertemu istrinya, saya bisa menggendong cucunya. Selama ini saya juga tahu Syaikh ar Rantisi dari orang lain, di sisni saya bisa bertemu istrinya dan melihat makamnya. Dan rumah Ismail Haniya, perdana menteri Palestina, lokasinya tidak jauh dari rumah Syaikh Ahmad Yasin dan Syaikh Ar Rantisi.

Ketika kami datang ke keluarga Syaikh Ahmad Yasin, kami sudah diceritakan siapa Syaikh Ahmad Yasin itu mulai dari profilnya, rumahnya dan perubahan luar biasa yang dilakukannya. Semula penduduk Gaza jauh dari agama, masjid-masjid kosong. Tapi sememnjak dakwah yang dilakukan Syaikh Ahmad Yasin, masjid selalu luber, penuh. Kemudian pemuda-pemuda datang ke masjid untuk memenuhi masjid yang dulunya diimami oleh orang yang buta dan tua, sekarang berganti dengan yang muda dan intelek. Sampai tidak ada bioskop di Gaza yang sebelumnya marak. Saat istri Syaikh Ahmad Yasin menceritakan itu, rasanya tidak ada jarak di antara kami. Bagaimana gambaran masjid tempat Syaikh Ahmad Yasin melaksanakan shalat yang hancur diroket masih ada, selendangnya, segala macam kenangan akan sang Syahid.

Belum lagi ketika kita datang ke makam. Cerita-cerita hidup itu terasa menghantam ruhiyah kami. Dikatakan ada kuburan yang bertulikan ‘kullu nafsin dzaa ikotul maut’ (setiap yang bernyawa pasti akan mati) ditujukan untuk orang yang meninggall biasa, seperti karena sakit atau karena tua. Tapi kalo yang meninggal itu syahid, ada tlisan ayang artinya “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan-nya dengan mendapat rezeki”(Dikutip dari Al Quran surat Ali imran ayat 169-171).

Lalu say atunjuk salah satu makam yang meninggal syahid. Ternyata itu adalah kuburan Syaikh Syiam. Dia adalah orang ketiga belas kakap yang dibidik Israel. Satu makan ada tiga orang, satu anaknya dan keponakannya. Tubuh ketiganya hancur, kecuali kepalanya. Dan anaknya yang berusia 22 tahun hanya tinggal cincinnya. Bagaimana saya merasa tidak terpanggil, saya harus bertemu dengan ibu dari pemuda. Alhamdulillah, kamu bertemu dengan Ummu Mus’ab. Disitu kami diceritakan sebuah kisah yang luar biasa. Mereka mengorbankan seluruh harta yang dimiliki, suami yang mereka cintai, anak yang mereka kasihi dan sayangi, demimempertahankan kemuliaan Gaza.

Setelah itu pergilah kami ke kelompok-kelompok tahfidz, dan kelompok cacat yang tengah direhabilitasi. Selama ini biasanya kami melihat orang cacat karena kecelakaan. Mereka mengorbankan seluruh tubuh mereka untukk kemuliaan Al Aqsa. Disitu saya melihat mata yang tak lagi melihat, kaki yang tak bisa lagi berjalan. Tapi, di wajah mereka tak saya lihat guratan kesedihan sedikitpun. Saya jadi beratanya-tanya, kontribusi apa yang susah kita berikan demi kemuliaan Islam.

Yang banyak orang tahu, padang pasir sulit ditumbuhi tanaman. Tapi di sini, saya melihat tanaman sayur dan buah tumbuh subur. Yang mereka tanam semuanya berkualitas. Kami mengunjungai Menteri Palestina, dia bilang “kalian tahu kapan tumbuhan di sini tumbuh subur di bumi yang gersang? Sejak blokade 2006. Kami tanah-tanah kami disirami darah-darah syuhada”. Lalu Menteri Pertanian itu mencanangkan bahwa produk nasional sudah menjadi keputusan yang sudah tidak bisa di tawar lagi. Sebelumnya, mereka bergantung pada Israel. Saat ini, mereka mampu swadaya dan tidak membutuhkan pasukan dari Israel.

Bayangkan 98 persen mereka tidak bergantung lagi pada Israel. Ayam, tanaman buah, sayur-mayur, lauk-pauk, semua mereka adakan sendiri. Kami diminta mencabut tanaman paprika dan anggur yang tumbuh sangat subur. Dengan buah yang dihasilkan sangat berkualitas. Para petani pemilik tanaman itu berkata “silahkan ambil, karena  bumi Palestina adalah rumah kalian”. Tidak ada petani yang melarang kami petik tanamannya.

Menteri Pertanian Palestina adalah sosok menteri yang kami rasa layak menjadi pemimpin di Gaza ini. Dia pernah dipenjara selama tiga tahun, dan selama itu di amenghapal 30 juz Al Quran. Dia mampu menghapal surat An Nisa selama 9 jam.

Di Gaza, buta huruf medekati nol persen. Mulai dari yang buta, atau kaum difabel digratiskan sekolahnya. Saya juga diundang oleh 15 yayasan perempuan, seluruh perempuan yang ada di tempat itu bekerja seolah-olah mereka merdeka. Dalam kondisi blokade, tertindas mereka mampu memberdayakan perempuan, melakukan pelatihan keterampilan, P3K, merehabilitasi mentalitas karena serangan-serangan. Dan untuk melakukan itu, mereka tidak membutuhkan ruangan yang besar, tapi ide-ide yang cermerlang.

Orang berlomba-lomba mendaftarakan diri sebagai penghapal Al-Quran. Bahkan ada lembaga tahfidz perempuan yang sduah independen. Mereka tidak butuh guru laki-laki lagi. Mereka merasa bumi ini adalah bumi yang disucikan Allah, dan mereka harus memepertahankan bahkan merebut. Dan, banyak sekali tanah-tanah yang dirampas Israel, bisa mereka ambil kembali. Kata Ismail Haniya, “Sejengkal pun tak akan pernah membiarkan tanah Gaza di rampas Israel dan harus kembali kepada kami sebagai pemiliknya”. Bersama itu ada tanda-tanda tulisan “85 kilometer lagi mendekati Al Quds”. Mereka sangat yakin kemenangan itu makin dekat.

Kami dengar ceramah-ceramah mereka. Disitu mereka bilang, jika Israel bisa menghancurkan infrastruktur kami, tapi Israel tidak akan pernah bisa menghancurkan keinginan kami yang kokoh untuk mempertahankan Gaza ini. Mereka katakan, “kami tahu kami menderita, susah, tapi persoalan Al Aqsa adalah lebih utama dari persoalan penderitaan kami”. Jujur, setelah melihat semua keajaiban itu, saya merasa sebenarnya bukan Gaza yang mendapat manfaat dari kedatangan kami, tetapi kamilah yang mendapat banyak hal selama berada di sini. Saya bisa simpulkan, bahwa apa yang saya ketahui tentang Gaza selama ini hanya 10 persen saja. Sisanya saya saksikan sendiri.

Yang dibutuhkan Gaza itu sebenarnya hanya dua. Pertama adalah blokade itu harus di cabut. Kedua, pengakuan internasional. Mereka merasa ada hak-hak mereka pada kita. Hak-hak ukhuwah. Mereka bilang, “kewajiba kalianlah yang memberikan informasi ini kepada dunia internasional agar blokade kami dilepas dan kami mendapat pengkuan internasional”.

Seringkali tercium aroma bunga yang sangat harum melintas. Ketika saya tanya salah satu Syaikh, aroma apa ini, dia bilang kalau wangi itu adalah aroma kasturi. Dia bilang, ada peristiwa orang yang syahid.

Jika mereka benar-benar lepas dari blokade, Gaza akan melejit menjadi negara yang sangat kuat. Dari segi intelektual hingga penampilan. Mereka sepertinya sudah memahami pekerjaan dan kewajibannya masing-masing.

Dulu, almarhumah Yoyoh Yusroh, hanya enah jam berada di Gaza. Dan itu dalam kondisi pasca perang. Kesempatan kali ini kami jadi suatu anugerah. Yang namanya masuk Plasetina harus diniatkan. Palestina harus ada dalam cinta kita. Bisa membuktikan cinta itu adalah abugerah yang sangat besar. Setidaknya itu yang saya rasakan setelah menyaksikan selaksa keajaiban di Gaza.



Tidak ada komentar: