Waktu setiap saat berjalan, memutarbalikan kehidupan kita dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Sedih dan bahagia, tangis dan senyum, sempit dan lapang, gagal dan sukses, barangkali sedikit warna kehidupan yang selalu datang menghampiri kita. Beragam peristiwa, dari peristiwa yang mengenakan hingga yang membuat hidup kita terasa terbelenggu, saling bergantian menyambangi kita. Berbagai keadaan terjadi secara bergiliran muncul dalam keseharian kita, menyatu dalam detak dan detik kehidupan kita.
Tak ada masalah dengan keadaan itu semua. Karena suka atau tidak suka, dia akan tetap datang tanpa kita memiliki kuasa untuk menolaknya. Tak ada masalah dengan keadaan apapun, sepanjang kita bisa mengambil pelajaran dan memetik hikmah darinya. Sebab hanya dengan cara itu kita akan lebih mengerti, lebih memahami.
Sebuah Berita yang Mengingatkan
Allah menciptakan tanda-tanda apa saja yang dikehendaki-Nya, dan menetapkannya untuk member hamba-Nya peringatan; mengingatkannya terhadap kewajiban, menyadarkannya dari perbuatan syirik, dan menegurnya oleh sebab melanggar perintah-Nya atau melakukan yang dilarang. Allah berfirman, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Fushilat: 53)
Mengingatkan lewat tanda-tanda apa saja adalah hak Allah swt. Maka ia melakukannya salam hal apa saja. Termasuk dalam peristiwa-peristiwa yang kita lalui di sepanjang hidup ini, dalam derita atau bahagia, dalam suka dan duka, dalam senyum dan tangis. Semua menjadi tanda dan berita yang mengingatkan bagi orang yang mau mengambil pelajaran.
Musibah yang ditimpakan kepada kita, atau kepada siapa saja yang Allah kehendaki, sesungguhnya itu adalah berita yang memebawa peringatan kepada semua, bahwa kita harus segera mengakhiri perilaku buruk kita, tidak boleh lagi terulang, dan tidak boleh ada yang melakukannya lagi. Atau berita yang menyadarkan dari keterlenaan, bahwa kita harus mencari tahu perilaku buruk apa yang telah kita lakukan sehingga menyebabkan musibah itu datang.
Ketika kita di terpa sakit, maka sakit itu biasa. Yang penting adalah mencari tahu kenapa kita sakit? Apakah Allah sedang menegur kita karena sebuah kekhilafan atau karena kita tidak bisa mensyukuri kesehatan itu dengan memeliharanya.
Ketika kita gagal, maka gagal itu hal yang wajar. Tapi yang lebih penting adalah belajar dan mempelajari sebab-sebab kegagalan itu agar tidak terulang lagi dalam usaha kita yang berikutnya. Mengambil pelajaran itu lebih penting dari kegagalan itu sendiri.
Namun, kebanyakan kita seringkali menutup mata terhadap suatu peristiwa. Tak acuh dengan sebuah tragedi yang sebenarnya sebuah peringatan. Melupakan begitu saja dahsyatnya sebuha bencana yang menjadi berita akan datangnya siksa Allah yang paling besar. Padahal Allah swt bisa mencabut apa saja yang ada pada kita dengan mudahnya. Melenyapkannya seketika tanpa hambatan. Seperti yang telah Dia peringatkan, “Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebijakan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imran: 26-27)
Setiap peristiwa adalah berita. Ya, berita yang mendahului dan mengingatkan kita untuk keadaan berikutnya. Sebab itu, berita tersebut haruslah dipelajari.
Ada yang Lebih Mengerti tentang Diri Kita daripada Kita Sendiri
Sebuah keadaan yang kita terima, terjadi karena sejalan dengan situasi dan kondisi dalam diri kita. Atau bahkan karena memang diri kita sangat membutuhkannya saat itu. Itulah pengetahuan Allah yang berlaku dan menguasai hidup kita, yang mungkin tak pernah kita sadari.
Maka jangan pernah kita melihat sisi negative sebuah keadaan yang tidak menyenangkan, yang terjadi pada diri kita. Dan jangan pula pernah ada perasaan buruk sangka kepada-Nya, apalagi menuduh-Nya telah berlaku tidak adil, jika secara kasat mata ternyata orang lain lebih beruntung dari kita. Sebab boleh jadi. Allah swt sebenarnya ingin memberi kita sesuatu yang lain, yang nilainya lebih besar dari yang diterima orang lain.
Seorang perempuan bercerita, dahulu di masa remajanya, ia selalu di hantui perasaan kecil hati. Tatkala bersama teman sebayanya, ia merasa orang yang paling tidak beruntung. Dalam banyak sisi ia merasa paling kekurangan; materi, penampilan, pergaulan, perhatian, dukungan dan sebagainya. Ketika yang lain dibantu orang tuanya, ia harus melakukannya sendiri, sehingga di waktu bersamaan muncullah riak-riak ketidakpuasan terhadap keadaan dirinya, yang tidak hanya ditunjukan kepada orang tuanya, tapi bahkan juga kepada Sang Pencipta.
Di suatu sore, di saat hujan lebat turun diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin kencang. Ketika ia sedang berjalan kaki pulang ke rumah usai sebuah kursus, cuaca yang tidak bersahabat menambah kesal batinnya. Sambil berjalan pulang, perasaan sedih, kecewa, marah bergumul menjadi satu dan memuncak sampai titik paling tinggi. Dia bahkan mulai mengumpat Tuhannya, mengapa dirinya harus mengalami hidup yang mengesalkan seperti ini.
Karena hujan begitu lebat dan jalanan dipenuhi air yang mengalir deras, tiba-tiba dia terperosok ke selokan kecil yang cukup dalam dan membuat kakinya tersangkut. Rasanya sakit luar biasa. Saat itulah seluruh kesedihan, amarah dan kekecewaan meluap keluar. Tanpa sadar ia menjerit keras, “Kenapa?!”
Tapi yang membuatanya kemudian tersadar adalah, selembar atap seng yang terbang melewati atas kepalanya. Seketika dia berfikir, andai saja disaat yang bertepatan ia masih berjalan dan tidak terjatuh, mungkin kepala atau badannya yang bakal terhantam oleh atap seng itu. Ia pun menangis keras. Tapi bukan lagi tangisan yang disebabkan oleh kekecewaan yang meluap, bukan pula ras asakit karena terperosok dan jatuh, melainkan kelegaan dan rasa syukur yang luar biasa, karena telah diselamatkan lewat kekinya yang terperosok. Meski kakinya penuh luka dan darah, tapi dalam perjalanan pulang, ia hampir tidak merasa sakit.
Bermula dari itu, kekecewaan dan ketidakpuasan yang dia rasakan pun terus menghilang. Dia mulai tidak peduli dengan hal-hal yang tadinya membuatnya kecewa. Dia mulai bergembira. Titik balik telah tercipta, yaitu ketika dia selamat dari kecelakan yang mengerikan. Itulah yang tak terlupakan. Dan ketika ia sudah memasuki masa kuliah, dia baru menyadari betapa besar manfaat didikan orang tuanya, yang mengajarkannya hidup mandiri. “Seringkali, sesuatu yang kurang enak diijinkan terjadi atas diri kita agar kita terhindar dari sesuatu yang lebih menyakitkan,” tuturnya memberi makna terhadap perjalanan hidupnya.
Begitulah sebenarnya kehidupan kita dengan segala peristiwa dan kejadian yang menghampiri. Kita harus bisa belajar dan memahami, bahwa Yang Menciptakan kita, jauh lebih tau tentang diri kita daripada kita sendiri, dan karena itulah sebuah keadaan ada dan terjadi dalam kehidupan kita.
Memaksa Kita Lebih Cepat Dewasa dan Bertanggung Jawab
Peristiwa-peristiwa yang menyambangi hidup kita ada kalanya terasa manis, ada kalanya pula terasa pahit. Ada kejadian-kejadian yang tampak indah dan menyenangkan, ada pula yang terlihat buruk dan menakutkan.
Yang manis, indah dan menyenangkan, barangkali semua itu kita sebut kenikmatan dan karunia. Sedang yang pahit, buruk dan menakutkan, kita kemudian menyebutnya musibah. Namun yang perlu kita pahami pada diri kita, bahwa dibalik peristiwa itu ada sebuah akselerasi pertumbuhan yang terkadang tidak kita sadari. Peristiwa buruk atau baik, ternyata keduanya memaksa kita belajar. Dari keduanya kita mengambil pemahaman tentang hidup dan peristiwa yang lain.
Bencana, sakit, dan berbagai peristiwa yang menyedihkan memberi pelajaran. Seorang anak perempuan menceritakan, ketika suatu hari ibunya tiba-tiba sakit, ia merasa kelimpungan dan tak berdaya. Banyak pekerjaan dan tugas rumah tangga yang tidak biasanya ia kerjakan, sekarang semua harus berpindah ke tangannya. Tak pernah terpikirkan ia harus menjalankan itu semua, di tambah mengurus seorang ibu yang tak bisa apa-apa.
Tapi, lambat laun keadaan itu memberi perubahan besar dalam dirinya. Keadaan telah membuatnya mandiri, lebih cepat dewasa dan bertanggung jawab. Dia merasa bahwa Allah swt seperti “memaksa” dirinya untuk sampai ke titik itu. Dan itulah pelajaran paling besar yang dia petik selama ibunya sakit.
Kehidupan ini memang memberikan beragam “kejadian”, untuk setiap manusia yang menjalaninya. Beberapa “kejutan” kadang kala tidak berupa suka cita, melainkan sedih dan duka yang cukup dalam. Namun, selalu ada hikmah ynag bisa diambil dari setiap peristiwa yang ada. Terlebih ketika kita yakin bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita.
Karena itu, jika hari ini kita sedang bertanya tanya, apa yang Allah kehendaki dengan peristiwa yang sedang kita alami, percayalah bahwa semuanya ada dalam kendali Allah. Jangan buru-buru protes atau bersungut-sungut. Sebab Allah sedang mengajarkan sesuatu yang berharga untuk kita. Mungkin tidak hari ini kita bisa memahaminya, tapi besok atau lusa. Sepanjang kita mau mengambil pelajaran, jawaban itu pasti akan kita temukan.
Sesuatu yang Menimpa, Kadang Menjadi Pengantar Bagi Keberhasilan
Apa pendapat kita andai hari ini kita tiba-tiba harus kehilangan pekerjaan yang selama ini menjadi penopang kehidupan kita? Barangkali kita akan menyatakan ketidaksiapan. Tapi pertanyaan berikutnya, bukankah sebuah peristiwa yang menyambangi kita memang tidak pernah menunggu kesiapan kita karena kedatangannya yang selalu tak terduga?
Kita boleh saja mengatakan tidak siap. Didera dilema dan ketakutan. Tapi sebuah peristiwa yang mengejutkan itu seringkali justru menjadi anak tangga untuk sebuah keberhasilan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan, namun tentu hanya bagi orang yang selalu ingin mengambil pelajaran. Sebab, orang yang tak mau peduli dengan suatu peristiwa yang dikirimkan Allah kepadanya, tak akan mengambil sedikit pun manfaat darinya.
Ketika terjadi krisis moneter dua tahun lalu, seoarang karyawan di sebuah perusahaan dipaksa oleh keadaan untuk mengakhiri pekerjaan yang selama ini telah memberinya materi yang cukup. Kondisi itu sempat membuatnya limbung. PHK ynag diterimanya membuat kacau pikirannya. Ada sedikit kepanikan secara tiba-tiba ia harus kehilangan penghasilan yang menjadi sumber utama nafkah keluarganya, juga untuk menutupi beberapa tagihan kredit rumah dan kendaraan yang belum rampung.
Lelaki dua anak ini memang terus mencari kerja, tapi tentu tak mudah menyeimbangakan apa yang telah didapatnya dulu dengan keadaan sekarang yang seakan memulai semuanya kembali dari nol. Kesulitan yang datang tiba-tiba itu benar-benar menjadikan hidupnya terasa sangat berat, karena kejadiannya yang tak pernah ia duga dan tak pernah ia persiapkan.
Maka dengan uang pesangon yang diterimanya, ia mulai berusaha sendiri. Dan ternyata usaha itu cepat berkembang dan dia kemabli menemukan kepercayaan dirinya. Dia bangkit dan bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Saat itulah ia menyadari, bahwa ternyata Allah swt Yang Maha Berkehendak terhadap segala sesuatu, sedang “memaksanya” untuk hidup lebih baik dari keadaan sebelumnya, dari sumber yang berbeda. Ya Allah “memaksanya” untuk memasuki dunia wirausaha, dengan modal yang datang tiba-tiba, yang tak butuh kerja keras untuk mendapatkannya.
Tidak hanya itu, Allah juga memberi modal lain, yaitu hikmah dari suatu kejadian bahwa kesulitan yang direspon dengan sabar, tidak berkeluh kesah, dan frustasi memberi kekuatan untuk terus maju. Mudah-mudahan kita selalu menjadi makhluk yang tidak lupa bersyukur. Bersyukur dan yakin bahwa kita selalu akan dipelihara dan diperhatikan oleh Sang Khaliq. Maka sudah sepatutnya kita sadari serta merendahkan diri kepada-Nya, serta selalu mencari tahu makna-makna yang terselubung di balik setiap keadaan yang dikirim-Nya kepada kita.
Setiap Peristiwa Memberi Banyak Pengetahuan
Setiapa peristiwa dan kejadian yang kita alami, atau yang kita saksikan, atau yang kita baca sesungguhnya bukan sekedar potongan cerita dalam kehidupan kita di masa datang. Tapi ia juga menyimpan beragam petikan pengetahuan yang berguna. Ia adalah semacam peta pemandu untuk menyibak jalan-jalan berliku yang terbentang luas di hadapan kita. Al Quran mengatakan, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi orang-orang yang memfungsikan akal mereka. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)
Imam Al Qurthubi menerjemahkan kata “ibrah” pada ayat di atas dalam arti yang luas. Tidak terbatas hanya pada pelajaran semata. Lebih dari itu, ia menyebutnya sebagai sebuah bahan pemikiran, bahan peringatan, dan tentu saja pelajaran yang sangat berharga. Tidak sekadar cerita pengantar tidur, atau kalimat pembuka sebelum kita memaparkan sebuah materi, tapi juga merupakan pokok materi yang tidak pernah kering untuk dibahas.
Maka cobalah kita simak kembali kandungan surat yang Allah katakan sebagai “kisah yang paling baik” itu. Tentu setelah itu, akan bermunculan banyak pertanyaan tentang kenapa peristiwa ini terjadi. Setidaknya kita akan bertanya. Kenapa Ya’qub as harus mendapat cobaan dengan dipisahkan dari anak yang paling dicintainya, Yusuf as. Atau mungkin kita akan bertanya, kenapa Yusuf yang berparas tampan dan menawan namun ketika diperjualbelikan hanya dijual dengan harga yang murah, bahkan orang-orang tidak tertarik hatinya kepada Yusuf. Atau juga mungkin kita akan bertanya, mengapa ketika hendak memasuki kota Mesir, Ya’kub meminta anak-anaknya untuk tidak memasukinya dari satu pintu, melainkan dari banyak pintu.
Itu hanyalah sebagian kecil pertanyaan yang akan menggoda pikiran kita untuk mencari tahu, apa yang sebenarnya yang ingin Allah sampaikan kepada kita lewat kisah tersebut. Karena itu, pandanglah kisah tersebut sebagai sebuah lautan ilmu yang membutuhkan curahan akal dan pikiran, untuk menemukan mutiara-mutiara rahasia, hikmah, pelajaran, dan pengajaran yang terkandung di dalamnya, sebab disana sungguh ada banyak pengetahuan yang tersenbunyi.
Seperti juga kisah Yusuf as, kisah dan peristiwa hidup kita yang sederhana, yang tidak sederamatis dan seagung perjalanan hidup seorang Yusuf as. Tapi di dalamnya, pastilah ada banyak pengetahuan yang terselip disana, yang harus kita urai sendiri lewat perenungan-perenungan kita, lewat curahan jiwa dan perasaan kita terhadap potongan-potongan cerita yang kita rajut di kehidupan kita. Karena itu jangan berhenti untuk mencari tahu dan belajar dari setiap keadaan yang kita terima, sebab Allah tidak menjadikan sesuatu sia-sia, termasuk kita dan segala yang terkait dengan kehidupan kita.
Kejadian Apapun, tidak Ada yang Kebetulan
Apapun keadaan yang kita hadapi, tidak ada yang kebetulan. Sukes atau gagal, naik atau turun, atau kejadian apa saja, sesungguhnya semua adalah mata rantai dari keadaan dan peristiwa yang ada sebelumnya. Jika hari ini kita sukses, tentu karena sebelumnya kita telah melakukan kerja yang keras dan konsisten dan berkesinambungan. Sebaliknya, kegagalan kita hari ini mungkin karena kita memang belum memaksimalkan semua potensi dan kemampuan yang kita miliki.
Akan tetapi, di luar itu kita harus memahami pula bahwa sukses dan gagal keduanya terjadi karena ada izin Allah, tidak semata karena hasil usaha kita. Ini penting untuk menguatkan kita, agar tidak cepat berputus asa manakala kegagalan itu datang berkali-kali, atau lekas berpuas diri ketika sukses telah tiba. Sebab kegagalan itu biasanya menghasilkan perasaan kecewa, sedih, tangis serta amarah, seperti kesuksesan yang terkadang membuat kita lupa diri dan takabur.
Disinilah pentingnya kita untuk selalu bisa mengambil pelajaran dari keadaan apapun, dengan mendahulukan sikap ridha pada setiap keputusan-Nya. Allah swt yang tidak pernah menzalimi hamba-Nya, sangat naïf jika kita lampiaskan dengan menyalahkan-Nya, atau menganggap-Nya tidak adil dan pilih kasih.
Salah pula jika kegagalan itu akhirnya memutus semangat kita, terlebih sampai membuat kita berputus asa dari rahmat-Nya yang tak terbatas. Kita perlu mengingat pesan Nabi Ya’kub kepada putra-putranya, “…dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah melainkan orang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Ketika dakwah Rasulullah di kota Makkah tak dihiraukan banyak orang, beliau mengalihkan perhatiannya ke kota Thaif. Beliau berharap akan mendapat sambutan di kota itu, atau setidaknya perlindungan setelah dua orang yang setia melindungi beliau telah tiada; Khadijah dan Abu Thalib. Namun nyatanya tidak demikian. Kedatangan beliau yang telah diketahui oleh pemimpin Quraisy sebelum misi tersampaikan, justru mendapatkan rintangan yang tak terkirakan.
Sepuluh hari Rasulullah saw berada di sana. Tapi kaum Tsaqif melempari beliau sehingga kakinya terluka. Tindakan brutal penduduk Thaif ini membuat Zaid bin Haritsah membelanya dan melindunginya, sehingga kepalanya juga terluka akibat terkena lemparan batu. Akhirnya, beliau berlindung di sebuah kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah. Disitulah beliau berdoa, “Ya Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Mah Penyayang. Engkau lah pelindung bagi si lemah dan Engaku jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engaku serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka terhadapku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engaku limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat dari murka-Mu yang hendak Engaku turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”
Doa dan rintihan beliau didengar malaikat penjaga gunung. Malaikat itu pun berseru, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung, dan Rabb-Mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perinta sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.”
Namun beliau hanya menjawab, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatupun.”
Beliau ditolak dengan amat kasar, tapi di jawabnya dengan ketulusan doa. Namun kejadian itu setidaknya telah memberi beliau pelajaran berharga, betapa pentingnya menjaga kerahasiaan dalam menerobos lahan dakwah yang baru, agar semua rintangan yang muncul dapat diantisipasi sedini mungkin. Ini terlihat pada kisah hijrah beliau dan para sahabatnya ke kota Madinah, dimana beliau sangat teliti dan hati-hati dalam mengamankan peristiwa hijrah tersebut.
Kegagalan tidaklah berlaku untuk selama-lamanya,. Namun hanya sesaat. Sehingga keliru jika sebuah kegagalan memunculkan pesimisme yang berlebihan. Sebab itu, seorang muslim dituntut untuk selalu bersikap optimis dalam beraktifitas. Seperti sikap Umar bin Khatab ketika ia dan para sahabat hendak memasuki sebuah kampung yang terserang wabah penyakit menular yang hebat. Dalam kisah itu disebutkan, sebagian sahabat memilih terus dan sebagian lagi memilih kembali. Umar pun berkata, “Kita belok ke tempat lain saja.” Kemudian seorang sahabat membantah, “Hai Umar, apa kamu hendak lari dari takdir Allah?” Umar lantas menjawab, “Ya, aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.” (HR. Bukhari)
Kejadian apapun tidak ada yag kebetulan. Semua ada dalam ketentuan Allah swt, dan semua memiliki hubungan antara satu dengan yang lain. Maka menghadapi keadaan apapun, bukanlah masalah, sepanjang kita mau belajar dan memahami dari keadaan yang ada.
Diambil dari majalah tarbawi Edisi 252
Kolom Dirosat
Oleh sultan Hadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar