Ketika Abu Bakar ra mengetahui kematian Rasulullah saw. Ia tiba-tiba saja berdiri dan berpidato. Katanya, “Wahai manusia semua. Barang siapa yang menyembah Muhammad, kini ia telah meninggal dunia. Dan barang siapa yang menyembah Allah swt, maka sesungguhnya Allah swt hidup dan tidak pernah mati.” Ia lalu membaca kutipan firman Allah swt surat Ali Imran ayat 44 yang artinya, “Dan tidaklah Muhammad kecuali ia seorang Rasul sebagaimana di masa masa sebelumnya. Apakah bila ia mati lalu terbunuh kemudian kalian kembali ke belakang (menjadi kafir). Dan barangsiapa yang kembali ke belakang, itu tidak akan memberi bahaya apa pun kepada Allah. Dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur.”
Sebenarnya, Abu Bakar bisa saja diam dan duduk saat mendengar informasi duka yang sangat menyedihkan itu. Abu Bakar sangat mungkin bahkan mengurung diri di rumahnya, lalu menangis atas perpisahannya dengan sang Nabi saw yang begitu mulia akhlaknya. Apalagi, Rasulullah saw sudah menyebut Abu Bakar sebagai kekasihnya. Abu Bakar sekali lagi, bisa saja melakukan kegiatan yang mungkin untuk sementara tidak terkait dengan orang lain, lantaran kesedihan dan kedukaannya yang mendalam dengan meninggalnya Rasulullah saw. Tapi itu semua tidak dilakukan Abu Bakar. Ia justru melakukan sebuah aksi yang luar biasa untuk menyelamatkan umat Islam saat itu dari perpecahan dan persengketaan.
Mari kita buka kembali lembar sejarah, menjelang terjadinya kecamuk perang di medan Uhud. Saat itu, Al Yaman (ayah Khudzaifah) dan Tsabit bin Qais diminta menetap di kota Madinah, lantaran usia mereka yang sudah renta. Setelah kepergian pasukan Islam ke medan Uhud, salah seorang mereka berkata, “Jangan diam, apa yang sedang engkau tunggu? Demi Allah tidak ada lagi yang tersisa untuk salah seorang kita karena usianya yang sudah renta, kecuali melakukan serangan sebagaimana keledai yang sedang kehausan. Bagaimana kalau kita ambil pedang dan kita susul Rasulullah saw ke bukit Uhud? Semoga dengan demikian, Allah swt memberikan kita karunia mati syahid.” Tak lama setelah itu, keduanya berangkat ke medan perang. Mereka menyusul Rasulullah saw dan turut terjun di dalam kecamuk perang Uhud.
Sayangnya, akibat dahsyatnya peperangan Uhud kala itu, tubuh Al Yaman tersayat beberapa kali oleh pedang pasukan islam. Hingga akhirnya ia jatuh dan meninggal, di tangan pasukan Islam. Tentu tidak dengan sengaja. Khuzaifah bin Al Yaman yang menyaksikan kondisi itu berteriak, “ayahku… ayahku…” singkat cerita, Rasulullah memdberikan santunan kepada Khudzaifah atas kematian ayahnya, tapi santunan itu disalurkan lagi untuk kaum muslimin. Sedangkan Tsabit bin Qais, akhirnya gugur syahid berperang saat berperang melawan orang-orang musyrik Makkah.
Sirah perjalanan para pendahulu umat ini begitu penuh nilai. Allah swt bahkan menggambarkan kondisi para sahabat itu dalam surat Ali Imran ayat 133, “Wa Saari’uu ilaaa maghfiratin… muttaqin.” Atau firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 148, “Fastabiqulkhairat..”
Rasulullah juga mengajarkan kita untuk tidak menunda dan menyegerakan kebaikan yang mungkin kita lakukan. “Segeralah melakukan tujuh amalan, apakah engkau akan menunggu masa fakir yang dilupakan, masa kekayaan yang merongrong, sakit yang merusak, tua yang membelenggu, mati yang sudah pasti atau dajjal yang merupakan puncak kejahatan, atau kiamat yang sangat pedih dan pilu” (HR. Turmudzi)
Suatu hari, Umar bin Khatab ra melihat sekelompok orang yang sedang duduk-duduk di salah satu tiang masjid setelah shalat jum’at. Umar bertanya, “Siapa kalian?” mereka menjawab, “Kami ini orang-orang yang bertawakal kepada Allah”. Mendengar jawaban itu, Umar bin Khatab ra marah dan mengusir mereka sambil megatakan, “jangan sekali lagi salah seorang kalian duduk santai tidak mau mencari rizki, lalu mengatakan “Ya Allah berilah rizki kepadaku, padahal ia tau langit takkan menurunkan hujan emas dan perak. Dan ia tahu bahwa Allah swt berfirman, “Bila usai shalat maka menyebarlah di muka bumi., carilah keutamaan dari Allah dan berdzikirlah yang banyak agar kalian beruntung” (QS. Al Jumu’ah 10)
Semoga Allah merahmati Imam Ahmad bin Hambal yang tidak mau berhenti dan duduk. Seorang ulama yang dalam lembar sejarah tentangnya disebutkan sangat aktif bergerak dan berfikir. Sampai sampai Muhammad bin Ismail Ash Shaigh salah seorang murudnya bercerita, “Dalam sebuah perjalanan , kami bertemu Imam Ahmad bin Hambal sedang berjalan dan sandalnya dipegang di tangannya, menandakan ia sudah sangat letih. Ayahku lalu membantu menghimpun pakaian Imam Ahmad sambil mengatakan, “Ya Abdu Abdillah, apakah engkau tidak malu melakukan ini?” sampai kapan engkau berjalan bersama mereka?” Jawab Imam Ahmad pendek, “Sampai mati” (Ibnul Qoyyim, Miftah Darussaadah) Jawaban pendek yang menunjukan keluarbiasaan semangat sang Imam.
Kematian. Mari waspada dan hati-hati terhadapnya. Kita hanya berharap semoga ia tidak datang saat kita dalam kondisi buruk. Kita hanya bisa berusaha agar ia tidak hadir menjemput ketika kita ada di titik yang bathil.
Sekarang, mari bergerak dan melakukan amal yang bisa membahagiakan kita. Bahagia, saat catatan amal kita di tampilkan di akhirat.
Diambil dari malalah Tarbawi
Kolom Ruhaniyat
Edisi 248
Tidak ada komentar:
Posting Komentar