Rabu, 25 Mei 2011

Jari Kaki Quthaibah Pun Berdarah



 Ada banyak seni yang harus kita hidupkan dalam hubungan persaudaraan diantara kita. Seperti adab taghaful, etika berpura pura tidak tahu terhadap kekeliruan yang dilakukan saudara kita.
Sikap taghaful, ternyata juga mencakup etika pura pura tidak tahu   apa yang telah kita kobarkan kepada saudara. Inilah yang ada dalam naungan ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam. Allah swt berfirman “Wa laa tamnun tastaksir … (QS. Al Muddatsir: 6)”. Para ulama menguraikan kata “wa laa tamnun” dalam ayat itu dengan anjuran agar tidak menyebut nyebut pemberian dan apa yang telah engkau berikan kepada saudaramu. “Karena sebenarnya itu bukan milikmu. Harta yang engkau berikan kepada orang lain itu adalah pemberian Allah dan bukan milikmu. Jadi, engkau hanya ditetapkan oleh Allah menjadi sebab atau perantara yang bisa menyampaikan harta itu. Karenanya, pada dasarnya dalam hal ini, pujian hanya milik Allah swt atas nikmat ini. Dan penting diingat bahwa akhlak adalah kelebihan manusia di banding makhluk yang lain ”.
Sikap mulia, sikap memberi untuk orang lain adalah ibadah kepada Allah swt yang begitu besar nilai pahalanya dan sangat baik pengaruh sosialnya. Sama halnya, ketika kita menggunakan harta untuk disalurkan pada sesuatu yang tidak diridhai Allah swt, pun merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allah swt, dan bisa menimbulkan efek sosial yang buruk.
Ketika ada seorang laki – laki yang berkata kasar kepada Abu Darda, sahabat Rasulullah itu mengatakan, “Jangan terlalu dalam mencaci kami. Letakkan ruang untuk kebaikan. Karena kami tidak menghargai orang ynag bermaksiat pada Allah diantara kami, lebih dari penghargaan kami pada orang yang melakukan ketaatan kepada Allah”
Cicit Rasulullah saw, Ali bin Al Hasan yang memiliki julukan Zainal Abidin ra, pernah pula dicaci oleh seseorang  saat ia sedang berjalan bersama para pengikutnya dan sejumlah pembantunya. Ali bin Al Hasan berpura pura tidak mendengar caci maki orang itu. Namun orang tersebut, berulang kali mengungkapkan kata kata yang lebih kasar dengan berteriak di depan Ali bin Al Hasan. Saat itulah, orang orang yang tengah berjalan menyertai cucu Rasulullah itu, terpicu amarah mereka. Mereka ingin memukul orang yang mencaci itu. Tetapi Ali bin Al Hasan menyergahnya dengan mengatakan, “Tunggu!”  Ia kemudian mendatangi orang itudan mengatakan pelan, “ Masalah  masalah kami yang tidak engkau ketahui lebih banyak dari yang engkau ketahui. Apakah engkau ingin tahu lebih banyak tentang itu?” Mendengar hal itu, orang yang semula mencaci maki Ali bin Al Hasan terdiam malu. Ali bin Al Hasan lalu memberikan sorban kepada laki laki itu, dengan tambahan seribu dirham. Orang itu lalu mengatakan, “saya bersaksi bahwa engkau benar benar cucu Rasulullah saw”
Mari kita ambil pelajaran lebih banyak dari perilaku para salafushalih tentang adab taghaful ini. Pernah suatu ketika, komandan perang Quthaibah bin Muslin Al Bahily didatangi seseorang yang ingin meminta sesuatu padanya. Orang itu dipersilahkan menghadap duduk di hadapan Quthaibah. Ia meletakan pedangnya yang masih terhunus dan tanpa sengaja ketajaman pedang itu melukai jari jari Quthaibah hingga berdarah. Pemuda itu tidak tahu. Quthaibah pun berusaha diam dan terus mendengarkan apa permasalahan pemuda itu. Para pengiring Quthaibah yang juga duduk di sekelilingnya juga diam. Mereka ingin bicara tapi segan dengan kewibawaan Quthaibah. Sampai setelah pemuda itu selesai menyampaikan permintaannya, ia kemudian berterima kasih dan pergi. Setelah itulah, Quthaibah meminta sapu tangan untuk segera membersihkan darah yang terus mengucur dari jari kakinya. “Mengapa engkau tidak sampaikan saja pada pemuda itu wahai Quthaibah? ” tanya salah satu sahabatnya. “Aku takut ucapan itu akan menghalanginya dari menyampaikan keperluannya” jawab Quthaibah.
Tentu saja, kedudukan Quthaibah sebagai komandan ketika itu sangat mungkin dan boleh untuk sekadar mengingatkan pemuda itu, tapi hal itu tidak dilakukannya. Atau setidaknya, Quthaibah sangat berhak menggeser kakinya untuk tidak terlalu lama terkena pedang pemuda itu, itupun tidak ia lakukan. Qithaibah benar benar sosok pemimpin yang mengetahui etika taghaful, agar semata pemuda itu tidak terganggu pembicaraannya. Seperti itulah akhlak dan sikap pemimpin shalih.
Sikap yang lebih mulia ditunjukkan oleh Rasulullah saw, ketika orang orang Thaif melemparinya dengan batu hingga giginya patah dan terjatuh. Perhatikanlah redaksi doa yang diucapkan Rasullullah saw dalam kondisi itu, “Semoga Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang yang menyembah Allah swt, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun” itulah sikap taghaful yang dilakukan Rasulullah saw, bahkan malaikat gunung pun takjub dan mengatakan, “Engkau sungguh – sungguh seperti apa yang dinamakan oleh Rabb-Mu sangat pengasih dan penyayang”.
Itulah sebabnya, dalam sebuah syair arab disebutkan, “Yang disebut orang kaya itu belum tentu pemimpin kaumnya, tapi yang mampu menutupi dan berpura pura tidak tahu dengan kesalahan orang lain, itulah pemimpin sebenarnya”
Begitu pentingnya akhlak taghaful ini, perhatikanlah apa yang disampaikan Abi Dunia, “Aku mendengar Utsman bin Zaidah mengatakan, “Keselamatan itu ada sepuluh bagian dan sembilan bagiannya ada pada taghaful”. Ketika hal itu disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hambal, ia mangatakan, “Keselamatan itu ada pada sepuluh bagian, dan seluruhnya ada pada taghaful”
Kunci taghaful, salah satunya adalah sikap tawadhu. Dari sikap itu, akan muncul sikap toleran, mudah memaafkan, lapang dada, ringan memaklumi kekeliruan yang dilakukan orang lain, tentu saja selama kekeliruan itu tidak dalam konteks menentang kebenaran yang mutlak dari Allah swt dan Rasululullah saw.     
Ingat, bagaimana komandan Quthaibah tetap diam meski jari kakinya berdarah…

Diambil dari majalah Tarbawi
Edisi 251, kolom Ruhaniyat

Tidak ada komentar: