Mereka menjawab, “ Wahai abu Abdirrahman, ini adalah batu-batu kerikil. Kami sedang bertakbir, bertahmid dan bertasbih dan menghitungnya dengan batu kerikil ini.” Lalu Ibnu Mas’ud berkata, ”Mengapa kalian tidak menghitung dosa –dosa kalian saja? Aku jamin, jika dosa-dosa kalian yang kalian hitung, niscaya kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang.” (Riwayat Ad Darimi)
Kisah ini merupakan informasi tentang pentingnya melakukan perenungan diri, sesuatu yang barangkali banyak dilupakan oleh orang yang mengaku beriman, termasuk kamu wahai diriku.
Perjalanan hidup ini amatlah panjang. Bahkan sangat panjang. Ia membutuhkan jeda sesaat untuk memastikan apakah ada yang harus diperbaiki, diluruskan, atau diubah total, agar seorang manusia tidak tertipu dan tersesat jalan sehingga akan terhambat keselamatannya untuk sampai ditujuan, nun jauh di akhirat sana.
Jeda waktu itu tidak lain adalah perenungan diri, alias intropeksi. Ini sangat penting, karena itu Rasulullah saw mengingatkan, “Orang yang cerdas itu adalah orang yang menghitung dirinya dan berbuat untuk sesuatu yang ada setelah mati”(HR. tirmidzi)
Wahai diriku, sudah lama rasanya aku tidak menyapa dirimu, menyetop langkahmu untuk sekadar bertanya dan mengingatkan batas-batas perjalanan hidupmu., sampai akhirnya aku membaca kembali hadist Nabi di atas.
Bukan aku malu tidak disebut cerdas oleh nabi, tapi karena ini memang penting untuk diriku dan perlu untuk aku lakukan untukmu. Maka di saat ini, aku ingin bertanya kepadamu tentang banyak hal, karena perasaanku yang mulai terusik dengan hal-hal yang tidak patut kamu lakukan untuk sekarang ini dan seterusnya.
Tentang Hubunganmu Dengan Allah
Aku sadar, bahwa tidak ada yang paling penting dalam hidup ini kecuali menjaga hubungan baik dengan Allah swt., dalam keadaan apapun. Sebab, Dialah yang telah menciptakan aku dan juga semua manusia. Kepada-Nya lah aku akan kembali. Dan hanya bagi-Nya lah aku mengabdi, beramal dan beribadah. Tidak untuk yang lain.
Aku pun tahu kalau engkau, wahai diriku, juga menyadari itu. Karena itu, dulu engkau begitu dekatnya. Paling tidak, jika aku bandingkan dengan keadaanmu sekarang. Waktu itu, apa yang kau pinta rasanya selalu terkabul. Tidak ada kesulitan yang berarti dalam hidupmu. Engkau minta kepada-Nya agar diluluskan dalam ujian, kau pun lulus. Engkau mohon agar dimudahkan dalam mencari pekerjaan, pertolongan-Nya pun datang demikian cepat. Engkau mengeluhkan penyakit mu kepda-Nya, tak lama kemudian kau pun kembali sehat. Pendeknya, apa yang kau pinta selalu ada jawabannya.
Tetapi kini, ketika kau merasa terdesak dan benar-benar membutuhkan pertolongan-Nya, kau terlihat malu menghadap-Nya. Enggan meminta kepada-Nya. Kau bahkan tampak tidak yakin permintaanmu akan terkabul. Bukan lantaran engkau berburuk sangka pada-Nya. sama sekali bukan. Sebab aku tahu dan kau pun meyakini itu, bahwa Allah senantiasa mendengarkan doa hamba-Nya, siapa pun dia. Lagi pula, engkau sangat hafal firman-Nya, “Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku”. Artinya kalau kamu yakin Allah mengabulkan doa-doamu, maka seperti itulah yang Dia akan berikan.
Aku ingin menjelaskan kepadamu, meskipun sesungguhnya kamu sudah tahu jawabannya. Rasa malu itu hadir, tidak lain karena kau mencoba tahu diri bahwa keadaanmu saat ini berbeda dengan yang dulu. Dulu kau rajin beribadah, sekarang sering melupakan-Nya. Kau seakan ingin Allah mengabulkan permintaanmu, namun kau jauh dari-Nya.
Wahai diriku, engkau memang tidak sampai meninggalkan shalat. Namun, shalat yang kau kerjakan seperti tidak memberikan efek dan makna bagimu. Itu karena engkau melakukannya tanpa kekhusyuan. Terlalu banyak problem yang menggelayut dipikiranmu. Ada urusan pekerjaan yang menumpuk, ada ini dan itu. Belum lagi engkau sekarang memang jarang ke masjid. Terkadang ketika adzan subuh berkumandang, engkau justru semakin merapatkan selimutmu. Padahal mesjid hanya sepuluh langkah dari rumahmu. Engkau sekarang bahkan terbiasa dengan menunda-nunda shalat, yang dulu sangat takut kau lakukan.
Engkau bukannya tidak tahu, kalau semakin rajin dan khusyuk shalatmu maka problem-problem hidupmu akan selesai dengan sendirinya. Tetapi kenapa problem-problem itu justru mengalahkan kualitas dan kuantitas ibadahmu. Sering, dalam shalat berjamah terkadang aku menertawaimu. Sebabnya, shalat yang kau kerjakan, rakaat demi rakaatnya berlalu tanpa terasa. Bahkan, kadang kala imam mengucapkan salam tanda shalat telah berakhir, kau tiba-tiba terhenyak, kembali dari petualangan pikiranmu dan melihat kenyataan bahwa kaupun telah selesai melakukan shalat.
Puasa di bulan ramadhan pun memang tetap kau jalankan. Tapi sayang kadang yang kau puaskan hanya perutmu saja. Sementara, mata, telinga, lisan dan hatimu tak mampu menahan godaan. Shalat tarawih yang biasa tidak pernah engkau tinggalkan, rasanya tidak sampai sepertiganya yang kau jalankan. Begitu juga dengan tilawah, kau bahkan tidak bisa mengkhatamkan bacaan, meski hanya sekali.
Ibadah-ibadahmu yang lain banyak yang tidak maksimal. Kau mengerjakannya hanya karena ingin melepaskan kewajiban. Maka wajar jika amal ibadahmu tidak mendekatkanmu kepada Allah.
Ketika Allah mengujimu dengan satu musibah, engkau tidak bisa bersabar. Di saat engkau berusaha dan berikhtiar, selalu tidak disertai dengan sikap tawakal yang sempurna. Jika kau berdiri menghadap-Nya, tak ada adab kesopanan yang kau sertakan. kau memang terlihat jauh dari Allah swt, dari sisi apa saja.
Aku memang sudah lama tidak memperdulikan keadaan dirimu. Karena itu tidak heran kalau dirimu tidak seperti dulu lagi. Hari ini aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau menjadi diri yang puas dengan prestasi amalmu yang tak pernah meningkat ini? Mudah-mudahan jawabanmu “tidak”. Sebab, aku sangat berharap kau bisa berubah menjadi lebih baik. Minimal seperti dulu, dimana engkau merasakan dekatnya pertolongan Allah atas dirimu.
Tentang Hubunganmu Dengan Al Qur’an
Akhir-akhir ini, aku juga melihatmu sangat jauh dari Al Qur’an. Padahal Al Qur’an itu adalah sarana berkomunikasi dengan Allah yang paling mudah dan efektif. Tidak perlu modal dan tenaga. Dulu, kemana-mana disaku bajumu atau ditasmu selalu terselip mushaf ukuran kecil. Itu karena engkau memang rajin membacanya. Atau kalau pun engkau tidak membacanya minimal kau jadikan ia sebagai pengingatmu ketika terlupa dan hampir terjebak dalam dosa.
Kini, engkau telah terbiasa pergi tanpa mushaf di sisismu. Sebab posisinya di hatimu telah terganti oleh telepon selulermu. Jika kakimu melangkah keluar rumah tanpa membawa mushaf, tak ada lagi kata penyesalan. Namun, jika telepon selulermu yang tertinggal, kau akan panic tak terkira. Engkau kini benar-benar mementingkan berkomunikasi dengan manusia., daripada kebutuhan mu berkomunikasi dengan Rabb-mu sendiri.
Biasanya, di bulan Ramadhan engkau mampu menamatkan tilawah lebih dari sekali. Namun di ramadhan yang lalu, jangankan sekali. setengah kalipun tidak. Aku bingung, apakah engaku yang bosan dengan Al Qur’an atau justru Al Qur’an yang bosan denganmu. Kalau engkau yang bosan, mudah-mudahan dalam waktu yang dekat engkau akan segera mengakrabinya kembali. Tetapi kalau Al qur’an yang bosan aku tidak tahu, kemana lagi engkau mencari pedoman hidup. Sekarang saja engkau sudah sedemikian sesat, apalagi jika Al Qur’an menjauh darimu. Celaka engkau wahai diriku!
wahai diriku, marilah kita berdoa, agar Allah menyatukan hati kita dengan kalam-Nya yang terhimpun didalam Al Qur’an itu. “Ya Allah aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk ciptaan-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam rahasia ilmu di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al Qur’an ini sebagai penyejuk hatiku, penghilang rasa sedihku, dan penghapus duka jiwaku.
Tentang Hubunganmu dengan Sesama Manusia
Wahai diriku, Rasulullah tercinta pernah bersabda kepada istrinya, Aisyah ra “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang kedudukannya paling buruk disisi Allah di hari kiamat, adalah orang yang ditinggalkan orang lain karena takut pada kejahatannya.”(HR. Bukhari)
Engkau mungkin masih ingat hadist ini. Karena aku sering mendengarmu menyampaikannya kepada orang lain, mengajarkannya kepada anak-anakmu, murid-muridmu, dan kepada siapa saja yang meminta nasihatmu tentang kewajiban menjaga hubungan baik sesama manusia.
Pertanyaanku, bagaiamana dengan dirimu sendiri? Maksudku seperti apa muamalahmu selama ini dengan orang lain. Bagaimana sikapmu dengan para tetangga? Adakah engkau sudah menjenguk mereka ketika mereka sedang sakit? Sudahkan engkau membantu temanmu yang sedang kesusahan? Seperti apa pula baktimu kepada orang tua? Mereka adalah orang-orang yang ada di sekelilingmu, yang wajib engkau pergauli dengan baik.
Beberapa hari yang lalu, sekirtar jam lima subuh, kala engkau melangkah keluar rumah, seorang tetanggamu sedang kesusahan, sakit payah dan digotong ke mobil untuk di bawa ke rumah sakit. Namun engkau hanya melihatnya sambil menutup pagar, kemudian berlalu tanpa ada sedikit pun ada sapa dan tanya. Sempatkah engkau berpikir seandainya engkau yang dalam kondisi itu sedang tetanggamu acuh denganmu, seperti apakah perasaanmu?
Diriku, engkau juga jarang memperhatikan temanmu yang sedang kesusahan. Ketika seorang diantara mereka hendak meminjam uang darimu karena kebutuhan yang sangat medesak, kau katakana padanya sedang tidak punya uang. Padahal aku tahu, waktu itu engkau masih punya simpanan uang. Engkau sulit sekali membantu orang.
Satu hari, ketika seorang meminta sumbangan mengucapkan salam di depan pagar rumahmu, aku melihatmu berpura-pura tidak mendengarnya. Gorden yang sedikit terbuka pun segera kau tutup pelan-pelan agar orang itu segera bisa berlalu. Tidak hanya sampai disitu kelakuanmu. Aku bahkan merasakan hatimu berbisik, “Ah, paling untuk dirinya sendiri.”
Seburuk itukan engkau sekarang, wahai diriku? Bukankah engkau hapal banyak dalil tentang keutamaan bersedekah. Apakah engkau mengira bahwa itu semua ditujukan untuk orang lain, sementara dirimu tidak? Jika memang engkau tidak ingin bersedekah, maka berkatalah yang jujur. Jangan pula menambah keburukanmu dengan prasangka yang tidak baik.
Kepada orang tuamu, engkau pun tidak memperlihatkan baktimu. Kau jarang sekali menjenguknya, apalagi meringankan kesulitannya. Bahkan untuk sekedar menanyakannya lewat telepon, itupun enggan engkau lakukan. Engkau banyak meminta perhatiannya untukmu, tetapi sebaliknya, kau sering melupakannya. Yang ku tau dari kebaikanmu yang tersisa adalah doamu kepada Allah untuk mereka. Padahal engkau tahu, bahwa bakti kepada orang tua akan mengundang keberkahan, serta menyibak kesulitan.
Wahai diriku, engkau seolah mampu mengatasi masalahmu sendiri, karena itu kau merasa tidak butuh dengan orang lain. Engkau abaikan mereka dalam hidupmu. Engkau hanya bergaul dengan orang, yang kamu yakin akan menguntungkan dirimu dari sisi materi. Tinggalkanlah sifat ini, karena hanya kan merugikanmu suatu hari nanti. Perbaikilah hubunganmu dengan sesama manusia. Berkasih sayang lah dengan mereka, agar Allah dan para malaikat-Nya yang ada di atas langit sana, pun mengasihimu.
Tentang Kondisi Hatimu
Bagaimana pula dengan kondisi hatimu saat ini? Ini pertanyaanku selanjutnya. Aku menanyakan ini karna kita sama-sama paham, bahwa hatilah yang paling menentukan kebaikan dan keburukan seseorang.
Hati itu wahai diriku, sangat mudah dihinggapi sejumlah penyakit, yang disebut maksiat-maksiat hati. Penyakit ini tidak tampak oleh mata dan tak ada yang dapat mengetahuinya selain Allah swt. Penyakit ini juga tak dapat diintai oleh syetan sehingga ia bersorak riang karna kejelekannya. Dan malaikat pun tidak dapat mengetahuinya sehingga dia catat keburukan keburukannya. Yang dicatat oleh mereka hanyalah apa yang mereka saksikan dari amal perbuatan seorang hamba. Mereka sama sekali tidak mengetahui niat dan maksud seseorang, juga penyakit-penyakit yang ada di dalam hati, kecuali jika Allah menghendakinya.
Saat ini aku mulai mengkhawatirkan hatimu. aku takut ia telah terserang penyakit-penyakit itu. Sebab tanda-tandanya telah sudah banyak kurasakan, dan aku yakin engkau juga merasakan itu. Karenannya aku ingin mengungkapkan beberapa fakta agar aku bisa tahu sejauh mana kebenaran dugaanku ini.
Kemarin, engkau baru saja tertimpa musibah. dan aku melihatmu terduduk lesu sambil meneteskan air mata. Aku tidak menyalahkan sikapmu itu, karena wajar bagi orang yang terkena musibah untuk berduka. Yang aku sesalkan, kenapa engkau tidak sanggup menjaga lidahmu dari mengucapkan kata-kata ketus yang menyalahkan orang lain. Bahkan engkau merasa bahwa Allah tidak berpihak denganmu. Apakah ini pertanda bahwa hatimu sudah mulai bimbang atas kekuasaan dan kehendak Allah yang berlaku atas semua hamba-Nya? “Apakah kamu juga telah lupa dengan ayat, kebajikan apapun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apapun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa: 79)
Sekarang ini aku juga melihatmu sering iri dan dengki kepada saudara atau sahabatmu karena kelebihan harta yang mereka peroleh, atau pangkat yang mereka raih, atau jabatan yang mereka capai. Lupakah engkau bahwa itu semua hanya kesenangan dunia yang bersifat sementara dan akan segera lenyap? Mengapa dengan kesalihan orang lain justru engkau tidak pernah berkaca? Aku tidak pernah melihatmu iri dengan orang yang banyak menghapal Al Quran, atau dengan orang yang rajin shalat malam, atau dengan orang yang tekun berpuasa sunnah. Tidak pernah.
Masih banyak kejanggalan lain yang kurasakan di hatimu. Ada rasa bangga yang berlebihan, ada kesombongan, ada riya, penyakit yang paling berbahaya itu juga ada. Terlalu panjang jika aku beberkan semua. Karena itu mari berdoa, diriku. Kita memohon kepada Allah agar hati kita dijernihkan kembali, dari segala noda dan maksiat. “Ya Allah, Dzat yang membolak balikan hati. tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu dan ketaatan kepada-Mu”.
Tenatang Sikapmu dengan Dunia dan Segala Kemewahannya
Wahai diriku, ijinkan aku bertanya pada dirimu untuk yang terakhir kalinya: tentang kesibukanmu mencari dan mengumpulkan harta dan kemewahan dunia, yang akhir-akhir ini selalu membuatku risau.
Dalam banyak hal, engkau memang selalu terlihat bersemangat. Termasuk mencari nafkah. Aku tidak mempermasalahkan yang ini, karena seorang mukmin memang harus selalu tampil semangat. Akan tetapi yang kutemukan sekarang, gaya hidup dan cara pandangmu terhadap perhiasan-perhiasan dunia itu sudah mulai bergeser. Engkau menganggap bahwa segala sesuatu hanya bisa diukur dan diraih dengan harta. Ketenangan hati dengan harta. Kebahagiaan keluarga dengan harta. Pangkat, jabatan, dan kekuasaan juga dengan harta. Itu yang kini aku khawatirkan.
Aku juga mulai melihatmu dihinggapi gejala wahn, penyakit yang sangat di khawatirkan Nabi saw menimpa kaumnya. Engkau sangat mencintai harta dan amat takut kehilangannya, sehingga membuatmu terlalu irit dan pelit. Engkau juga sudah meniru gaya hidup orang-orang yang jauh dari agama, yang dulu kau seru orang-orang untuk tidak terjebak dalam lingkaran mereka.
Pertanyaanku, apakah salah jika engkau memilih hidup sederhana meskipun engkau berpunya? Apakah engkau khawatir mitra-mitra bisnismu atau lawan-lawan politikmu akan merendahkanmu? Aku yakin tidak. Bahkan kesederhanaan itu akan melahirkan izzah dan kemapanan iman. Rasulullah bersabda “ Sesungguhnya kesederhanaan itu bagian dari iman.”
Indah sekali ucapan seorang sahabat Amr bin Ash as, “Aku tidak bosan dengan pakaianku selama masih bisa dipakai. Aku tidak bosan dengan hewan tungganganku selama masih bisa membawaku. Dan aku tidak bosan dengan istriku, selama dia berbuat baik kepadaku. Sesungguhnya mudah bosan itu termasuk akhlak yang buruk.”
Renungkanlah ungkapan ini, wahai diriku. Sebab aku melihat matamu cepat silau dengan harta yang banyak. Lekas iri dengan yang diperoleh orang lain. kamu tidak pernah puas dengan apa yang diberikan Allah untukmu, untuk saat ini. Aku melihat dirimu terlalu berharap banyak dari perbendaharaan dunia, padahal beberapa tahun yang lalu kamu terlihat begitu tawadhu, rendah hati dan selalu berpaling dari jebakan dunia. Tapi kini, entah racun apa yang telah mengotori dirimu. Bahkan dalam shalat pun hatimu selalu khawatir jika suatu saat kontrak kerjamu diputus. Seolah-olah hidupmu hanya bergantung disitu saja.
Waspadalah dengan sihir dunia. Janganlah ia sampai menghinggapi hatimu. Cukup letakan ditangan mu saja, agar hidupmu selamat didunia dan di akhirat.
Wahai diriku, banyak peristiwa yang telah kita lewati. Maka rasionalitas kita harus bicara, nurani harus peka. Setiap kejadian memiliki memori, setiap perubahan memiliki makna, hanya bagaimana kia menerima semuanya itu dengan akal dan hati. Kita harus bisa menjadi pengatur yang baik bagi diri kita sendiri. Bukan diatur oleh keadaan yang selalu berubah.
Wahai diriku, kiranya sampai disini pertanyan-pertanyaanku. Ini semua tidak aku maksudkan untuk menyudutkanmu, melainkan karena aku begitu mencintaimu. Sebab, keselamatanmu adalah keselamatanku. Keselamatan kita. Aku tau ada banyak petikan kata yang membuatmu meneteskan air mata. Namun apa guna itu semua, kalau tidak ada perubahan yang bisa kau tunjukan padaku. Satu rakaat shalat witir yang kau biasakan dalam setiap malam yang kau lewat, lebih mulia di sisi Allah daripada kerja kerasmu menghimpun dunia dan segala isinya. Satu lembar Al Quran yang kau baca setiap hari, lebih Allah cintai daripada beribu-ribu lembar rupiah yang kau tumpuk di bank. Sepotong roti yang kau sedekahkan lebih Allah senangi dari segunung emas yang kau kumpulkan. Semoga Allah menyelamatkan diri kita, wahai diriku.
Diambil dari tarbawi edisi 186