Rabu, 20 April 2011

Kucing Di Pojok Teras Masjid ^^


Bertemu dengan berbagai macam kucing memang memiliki kenikmatan tersendiri. Saya sangat suka dengan binatang berbulu lembut (kecuali ulat bulu :D). seperti halnya saat saya mengunjungi sebuah sekolah untuk menemani siswa siswa saya mengikuti UN (sebagai tambahan keterangan, sekolah saya menginduk pada sekolah lain dalam melaksanakan UN)

Di sela sela menunggu, saya pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat dhuha. Saat di dalam masjid terdengar suara anak kucing, “miawww… miawww” mungkin seperti itulah suaranya ^^. Setelah saya telusuri suara itu, ternyata di pojok teras masjid tersebut ada empat anak kucing bersama ibunya dalam sebuah kardus. Ooo lucunya :D.

Dua hari setelah itu saya bertemu kembali dengan kucing kucing ini di depan perpustakaan sekolah. Ibunya begitu kurus dan tak terurus. sampai mukanya cemong. Tp ia tetap menyusui keempat anaknya. Subhanallah… Allah menganugrahkan kasih sayang itu pada semua makhluk-Nya, tak terkecuali pada binatang. Hingga seekor hewan pun mengerti arti kasih sayang itu.

Nah ini lah photo anak kucing itu. Saya tidak sempat mengambil gambar ibunya dan satu anak kucing lainnya. Inilah gambar mereka saat bermain main J

Tiga Sungai Untuk Orang Berdosa


Allah SWT telah membuat tiga sungai untuk membersihkan tubuh orang orang yang berdosa. Jika ketiga sungai itu belum cukup maka Allah akam membersihkannya di sungai Jahannam. 
Pertama, sungai taubatan nasuha yaitu melepaskan segala perbuatan dosa dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi
Kedua, sungai hasanat yaitu kebaikan kebaikan yang akan mengubur semua keburukan
Ketiga, sungai mushibah adzimah yaitu bencana atau ujian yang besar yanga akan melebur setiap dosa.
Apabila Allah menghendaki suatu kebaikan kepada hamba-Nya, Ia akan memasukannya kedalam salah satu sungai tersebut hingga ia akan datang kepada-Nya di hari kiamat dengan tubuh yang suci dan bersih

(Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 249 kolom Qobasat-Petikan

Lima Penawar hati


Lima hal yang termasuk penawar hati.
Pertama, bergaul dengan orang shalih
Kedua, membaca Al Quran dan mentadaburinya
Ketiga, sedikit makan
Keempat, Qiyamul lail
Kelima, bermunajat kepada Allah terutam pada waktu sahur

(Abdullah Al Anthaqi)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 248 kolom Qobasat-Petikan

Kebahagiaan Dunia-Akhirat


Dia yang memiliki lima hal di bawah ini akan bahagia dunia-akhirat:
Pertama, perbanyak membaca laa ilaaha illallah Muhammadarasulullah
Kedua, ketika ditimpa musibah mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Wa laa haula wa laa quwwata illabillahi’aliyyiladzim
Ketiga, ketika mendapat nikmat mengucapkan Alhamdulillah hirabbil ‘alamin
Keempat, ketika akan melakukan sesuatu mengucapkan Bismillahirrohmanirrahim

(Abdullah bin Amr bin ‘Ash)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 246 kolom Qobasat-Petikan

Empat Jenis Lautan


Pertama, lautan dosa yaitu kecenderungan nafsu kepada keinginan yang tidak sesuai dengan syara
Kedua, lautan syahwat yaitu dorongan untuk mencari kenikmatan jasmaniah
Ketiga, lautan umur yaitu kematian
Keempat, lautan penyesalan yaitu di alam kubur

(Umar Bin Khatab ra)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 245 kolom Qobasat-Petikan

Golongan Ahli Surga


Pertama, orang fakir yang menanggung nafkah keluarganya
Kedua, perempuan yang suaminya ridha terhadapnya
Ketiga, istri yang bersedekah dengan maharnya kepada suaminya
Keempat, anak yang kedua orang tuanya ridha kepadanya
Kelima, orang yang bertaubat dengan kesalahannya

(Umar bin Khatab ra)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 242 kolom Qobasat-Petikan

Karunia Yang Membahagiakan


Ada empat karunia yang jika diberikan kepadanya, maka dia telah diberikan kebaikan dunia dan akhirat: hati yang pandai bersyukur, lisan yang slalu berdzikir, tubuh yang mampu bersabar dari segala macam cobaan, dan istri yang tidak suka membuat (suami) nya susah dengan dirinya dan pada hartanya

(HR Thabrani)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 241 kolom Qobasat-Petikan

Empat Faktor Kesempurnaan


Abu Bakar As Shidik berkata bahwa ada empat hal yang akan sempurna bila didukung empat hal lain.
Pertama, kesempurnaan shalat adalah dengan  dua kali sujud sahwi bila ada bagian yang terlupa
Kedua, kesempurnaan puasa Ramadhan adalah dengan zakat fitrah
Ketiga, kesempurnaan ibadah haji adalah dengan membayar fidyah
Keempat, kesempurnaan iman adalah dengan jihad fii sabilillah

(Abu Bakar ra)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 240 kolom Qobasat-Petikan

Senin, 18 April 2011

Empat Musibah Membawa Nikmat


Ada empat musibah yang dirasakan membawa nikmat.
Pertama, musibah itu terjadi bukan pada agama kita
Kedua, musibah tersebut tidak lebih berat daripada musibah yang telah menimpa diri kita
Ketiga, musibah itu tidak menghalangi untuk memperoleh ridha Allah
Keempat, musibah yang darinya kita bisa mengharapkan pahala Allah

(Umar bin Khatab ra)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 239 kolom Qobasat-Petikan

Lima Tanda Orang Bertaqwa


Ada lima tanda orang yang bertaqwa
Pertama, tidak suka bergaul kecuali dengan orang orang yang dapat memperbaiki agamanya
Kedua, jika mendapat musibah besar dalam urusan duniawi, dia menganggapnya sebagai hukuman atas kesalahan nya yang terdahulu
Ketiga,  jika mendapat musibah dalam masalah agama meskipun sedikit dia bersedih
Keempat, dia tidak suka memenuhi perutnya dengan makanan yang halal sekalipun karena khawatir tercampur dengna yang haram
Kelima, dia selalu memandang orang lain lebih baik dari dirinya dalam hal agama

(Utsman bin Affan ra)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 238 kolom Qobasat-Petikan

Enam Hal Yang Tidak Dimiliki Enam Perkara


Pertama, tidak ada ketenangan bagi orang yang hasud
Kedua, tidak ada harga diri bagi pendusta
Ketiga, tidak ada kecakapan bertindak bagi orang yang bakhil
Keempat, tidak ada amanah bagi orang yang diperbudak
Kelima, tidak ada kehormatan bagi yang buruk budi pekertinya
Keenam, tidak ada penolakan bagi ketentuan Allah

(Ahnaf bin Qais rahimahullah)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 237 kolom Qobasat-Petikan

Enam Wasiat Ahli Zuhud


Seorang yang ahli zuhud memberi wasiat agar seluruh kehidupan yang dijalani penuh manfaat.
Pertama, jika orang orang sibuk dengan dunia maka sibukkan diri dengan akhirat
Kedua, jika melihat orang orang sibuk memperindah tampilan fisik mereka maka percantiklah batin kita
Ketiga, jika melihat orang orang sibuk dengan perkebunan maka sibukkanlah diri dengan memakmurkan kuburan
Keempat, sibukkan diri dengan mengabdi kepada Allah
Kelima, sibukkan diri dengan keburukan diri sendiri
Keenam, jadikanlah kehidupan di dunia ini sebagai taman pertanian yang akan menghantarkan engkau ke pohon besar di akhirat kelak.

(Ibrahim bin Adham rahimahullah)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 235 kolom Qobasat-Petikan

Lima Perkara Yang Dicintai dan Dilupakan


Rasulullah mengatakan bahwa ada lima perkara yang dicintai dan di lupakan oleh umat rasulullah.
Pertama, mereka mencintai dunia dan akan melupkaan akhirat
Kedua, mereka mencintai kehidupan (dunia) dan melupakan kematian
Ketiga, mereka mencintai rumah yang mewah dan melupkaan kubur
Keempat, mereka mencintai harta benda dengan melupakan hisab (pertanggungjawaban)
Kelima, mereka mencintai makhluk-Nya dengan melupkaan Khaliq nya, yaitu Allah

(HR At Thabrani)

Diambil dari majalah Tarbawi edisi 232 kolom Qobasat-Petikan

Sabtu, 16 April 2011

Empat Wasiat Ali bin Ali Thalib


Ali berkata, “Wahai manusia, jagalah wasiatku. Jika kamu memegangnya erat erat dengan segala kesiapan sehingga kamu dapat melaksanakannya, kamu tidak akan mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. 
Pertama, hendaklah kamu tidak berharap kecuali kepada Tuhan mu
Kedua, hendaklah kau tidak takut kecuali kepada dosa dosa mu
Ketiga, hendaklah kamu tidak malu untuk belajar jika tidak tau
Keempat, hendaklah orang yang alim berkata “Aku tidak tahu” apabila dia memang tidak tau

(Ali bin Abi Thalib)
Diambil dari majalah Tarbawi edisi 233 kolom Qobasat-Petikan

Apa Kabarmu, Diriku?


Suatu hari, Abu Musa Al Asy’ari ra, datang tergopoh-gopoh menghampiri Abdullah bin Mas’ud ra. Ia menceritakan, bahwa ia baru saja melihat banyak orang di masjid, duduk melingkar dalam satu halaqoh. Mereka sama-sama bertakbir, bertahmid, bertasbih dan membaca kalimat-kalimat thayibah lainnya. Ibnu Mas’ud pun segera ke masjid menemui orang-orang itu. Begitu sampai, Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka, “ Apa yang sedang kalian lakukan?”

Mereka menjawab, “ Wahai abu Abdirrahman, ini adalah batu-batu kerikil. Kami sedang bertakbir, bertahmid dan bertasbih dan menghitungnya dengan batu kerikil ini.” Lalu Ibnu Mas’ud berkata, ”Mengapa kalian tidak menghitung dosa –dosa kalian saja? Aku jamin, jika dosa-dosa kalian yang kalian hitung, niscaya kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang.” (Riwayat Ad Darimi)

Kisah ini merupakan informasi tentang pentingnya melakukan perenungan diri, sesuatu yang barangkali banyak dilupakan oleh orang yang mengaku beriman, termasuk kamu wahai diriku.

Perjalanan hidup ini amatlah panjang. Bahkan sangat panjang. Ia membutuhkan jeda sesaat untuk memastikan apakah ada yang harus diperbaiki, diluruskan, atau diubah total, agar seorang manusia tidak tertipu dan tersesat jalan sehingga akan terhambat keselamatannya untuk sampai ditujuan, nun jauh di akhirat sana.

Jeda waktu itu tidak lain adalah perenungan diri, alias intropeksi. Ini sangat penting, karena itu Rasulullah saw mengingatkan, “Orang yang cerdas itu adalah orang yang menghitung dirinya dan berbuat untuk sesuatu yang ada setelah mati”(HR. tirmidzi)

Wahai diriku, sudah lama rasanya aku tidak menyapa dirimu, menyetop langkahmu untuk sekadar bertanya dan mengingatkan batas-batas perjalanan hidupmu., sampai akhirnya aku membaca kembali hadist Nabi di atas.

Bukan aku malu tidak disebut cerdas oleh nabi, tapi karena ini memang penting untuk diriku dan perlu untuk aku lakukan untukmu.  Maka di saat ini, aku ingin bertanya kepadamu tentang banyak hal, karena perasaanku yang mulai terusik dengan hal-hal yang tidak patut kamu lakukan untuk sekarang ini dan seterusnya.

Tentang Hubunganmu Dengan Allah
Aku sadar, bahwa tidak ada yang paling penting dalam hidup ini kecuali menjaga hubungan baik dengan Allah swt., dalam keadaan apapun. Sebab, Dialah yang telah menciptakan aku dan juga semua manusia. Kepada-Nya lah aku akan kembali. Dan hanya bagi-Nya lah aku mengabdi, beramal dan beribadah. Tidak untuk yang lain.

Aku pun tahu kalau engkau, wahai diriku, juga menyadari itu. Karena itu, dulu engkau begitu dekatnya. Paling tidak, jika aku bandingkan dengan keadaanmu sekarang. Waktu itu, apa yang kau pinta rasanya selalu terkabul. Tidak ada kesulitan yang berarti dalam hidupmu. Engkau minta kepada-Nya agar diluluskan dalam ujian, kau pun lulus. Engkau mohon agar dimudahkan dalam mencari pekerjaan, pertolongan-Nya pun datang demikian cepat. Engkau mengeluhkan penyakit mu kepda-Nya, tak lama kemudian kau pun kembali sehat. Pendeknya, apa yang kau pinta selalu ada jawabannya.

Tetapi kini, ketika kau merasa terdesak dan benar-benar membutuhkan pertolongan-Nya, kau terlihat malu menghadap-Nya. Enggan meminta kepada-Nya. Kau bahkan tampak tidak yakin permintaanmu akan terkabul. Bukan lantaran engkau berburuk sangka pada-Nya. sama sekali bukan. Sebab aku tahu dan kau pun meyakini itu, bahwa Allah senantiasa mendengarkan doa hamba-Nya, siapa pun dia. Lagi pula, engkau sangat hafal firman-Nya, “Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku”. Artinya kalau kamu yakin Allah mengabulkan doa-doamu, maka seperti itulah yang Dia akan berikan.

Aku ingin menjelaskan kepadamu, meskipun sesungguhnya kamu sudah tahu jawabannya. Rasa malu itu hadir, tidak lain karena kau mencoba tahu diri bahwa keadaanmu saat ini berbeda dengan yang dulu. Dulu kau rajin beribadah, sekarang sering melupakan-Nya. Kau seakan ingin Allah mengabulkan permintaanmu, namun kau jauh dari-Nya.

Wahai diriku, engkau memang tidak sampai meninggalkan shalat. Namun, shalat yang kau kerjakan seperti tidak memberikan efek dan makna bagimu. Itu karena engkau melakukannya tanpa kekhusyuan. Terlalu banyak problem yang menggelayut dipikiranmu. Ada urusan pekerjaan yang menumpuk, ada ini dan itu. Belum lagi engkau sekarang memang jarang ke masjid. Terkadang ketika adzan subuh berkumandang, engkau justru semakin merapatkan selimutmu. Padahal mesjid hanya sepuluh langkah dari rumahmu. Engkau sekarang bahkan terbiasa dengan menunda-nunda shalat, yang dulu sangat takut kau lakukan.

Engkau bukannya tidak tahu, kalau semakin rajin dan khusyuk shalatmu maka problem-problem hidupmu akan selesai dengan sendirinya. Tetapi kenapa problem-problem itu justru mengalahkan kualitas dan kuantitas ibadahmu. Sering, dalam shalat berjamah terkadang aku menertawaimu. Sebabnya, shalat yang kau kerjakan, rakaat demi rakaatnya berlalu tanpa terasa. Bahkan, kadang kala imam mengucapkan salam tanda shalat telah berakhir, kau tiba-tiba terhenyak, kembali dari petualangan pikiranmu dan melihat kenyataan bahwa kaupun telah selesai melakukan shalat.

Puasa di bulan ramadhan pun memang tetap kau jalankan. Tapi sayang kadang yang kau puaskan hanya perutmu saja. Sementara, mata, telinga, lisan dan hatimu tak mampu menahan godaan. Shalat tarawih yang biasa tidak pernah engkau tinggalkan, rasanya tidak sampai sepertiganya yang kau jalankan. Begitu juga dengan tilawah, kau bahkan tidak bisa mengkhatamkan bacaan, meski hanya sekali.

Ibadah-ibadahmu yang lain banyak yang tidak maksimal. Kau mengerjakannya hanya karena ingin melepaskan kewajiban. Maka wajar jika amal ibadahmu tidak mendekatkanmu kepada Allah.

Ketika Allah mengujimu dengan satu musibah, engkau tidak bisa bersabar. Di saat engkau berusaha dan berikhtiar, selalu tidak  disertai dengan sikap tawakal yang sempurna. Jika kau berdiri menghadap-Nya, tak ada adab kesopanan yang kau sertakan. kau memang terlihat jauh dari Allah swt, dari sisi apa saja.

Aku memang sudah lama tidak memperdulikan keadaan dirimu. Karena itu tidak heran kalau dirimu tidak seperti dulu lagi. Hari ini aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau menjadi diri yang puas dengan prestasi amalmu yang tak pernah meningkat ini? Mudah-mudahan jawabanmu “tidak”. Sebab, aku sangat berharap kau bisa berubah menjadi lebih baik. Minimal seperti dulu, dimana engkau merasakan dekatnya pertolongan Allah atas dirimu.

Tentang Hubunganmu Dengan Al Qur’an
Akhir-akhir ini, aku juga melihatmu sangat jauh dari Al Qur’an. Padahal Al Qur’an itu adalah sarana berkomunikasi dengan Allah yang paling mudah dan efektif. Tidak perlu modal dan tenaga. Dulu, kemana-mana disaku bajumu atau ditasmu selalu terselip mushaf ukuran kecil. Itu karena engkau memang rajin membacanya. Atau kalau pun engkau tidak membacanya minimal kau jadikan ia sebagai pengingatmu ketika terlupa dan hampir terjebak dalam dosa. 

Kini, engkau telah terbiasa pergi tanpa mushaf di sisismu. Sebab posisinya di hatimu telah terganti oleh telepon selulermu. Jika kakimu melangkah keluar rumah tanpa membawa mushaf, tak ada lagi kata penyesalan. Namun, jika telepon selulermu yang tertinggal, kau akan panic tak terkira. Engkau kini benar-benar mementingkan berkomunikasi dengan manusia., daripada kebutuhan mu berkomunikasi dengan Rabb-mu sendiri.

Biasanya, di bulan Ramadhan engkau mampu menamatkan tilawah lebih dari sekali. Namun di ramadhan yang lalu, jangankan sekali. setengah kalipun tidak. Aku bingung, apakah engaku yang bosan dengan Al Qur’an atau justru Al Qur’an yang bosan denganmu. Kalau engkau yang bosan, mudah-mudahan dalam waktu yang dekat engkau akan segera mengakrabinya kembali. Tetapi kalau Al qur’an yang bosan aku tidak tahu, kemana lagi engkau mencari pedoman hidup. Sekarang saja engkau sudah sedemikian sesat, apalagi jika Al Qur’an menjauh darimu. Celaka engkau wahai diriku!

wahai diriku, marilah kita berdoa, agar Allah menyatukan hati kita dengan kalam-Nya yang terhimpun didalam Al Qur’an itu. “Ya Allah aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk ciptaan-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam rahasia ilmu di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al Qur’an ini sebagai penyejuk hatiku, penghilang rasa sedihku, dan penghapus duka jiwaku.

Tentang Hubunganmu dengan Sesama Manusia
Wahai diriku, Rasulullah tercinta pernah bersabda kepada istrinya, Aisyah ra “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang kedudukannya paling buruk disisi Allah di hari kiamat, adalah orang yang ditinggalkan orang lain karena takut pada kejahatannya.”(HR. Bukhari)

Engkau mungkin masih ingat hadist ini. Karena aku sering mendengarmu menyampaikannya kepada orang lain, mengajarkannya kepada anak-anakmu, murid-muridmu, dan kepada siapa saja yang meminta nasihatmu tentang kewajiban menjaga hubungan baik sesama manusia.

Pertanyaanku, bagaiamana dengan dirimu sendiri? Maksudku seperti apa muamalahmu selama ini dengan orang lain. Bagaimana sikapmu dengan para tetangga? Adakah engkau sudah menjenguk mereka ketika mereka sedang sakit? Sudahkan engkau membantu temanmu yang sedang kesusahan? Seperti apa pula baktimu kepada orang tua? Mereka adalah orang-orang yang ada di sekelilingmu, yang wajib engkau pergauli dengan baik.

Beberapa hari yang lalu, sekirtar jam lima subuh, kala engkau melangkah keluar rumah, seorang tetanggamu sedang kesusahan, sakit payah dan digotong ke mobil untuk di bawa ke rumah sakit. Namun engkau hanya melihatnya sambil menutup pagar, kemudian berlalu tanpa ada sedikit pun ada sapa dan tanya. Sempatkah engkau berpikir seandainya engkau yang dalam kondisi itu sedang tetanggamu acuh denganmu, seperti apakah perasaanmu?

Diriku, engkau juga jarang memperhatikan temanmu yang sedang kesusahan. Ketika seorang diantara mereka hendak meminjam uang darimu karena kebutuhan yang sangat medesak, kau katakana padanya sedang tidak punya uang. Padahal aku tahu, waktu itu engkau masih punya simpanan uang. Engkau sulit sekali membantu orang.

Satu hari, ketika seorang meminta sumbangan mengucapkan salam di depan pagar rumahmu, aku melihatmu berpura-pura tidak mendengarnya. Gorden yang sedikit terbuka pun segera kau tutup pelan-pelan agar orang itu segera bisa berlalu. Tidak hanya sampai disitu kelakuanmu. Aku bahkan merasakan hatimu berbisik, “Ah, paling untuk dirinya sendiri.”

Seburuk itukan engkau sekarang, wahai diriku? Bukankah engkau hapal banyak dalil tentang keutamaan bersedekah. Apakah engkau mengira bahwa itu semua ditujukan untuk orang lain, sementara dirimu tidak? Jika memang engkau tidak ingin bersedekah, maka berkatalah yang jujur. Jangan pula menambah keburukanmu dengan prasangka yang tidak baik.

Kepada orang tuamu, engkau pun tidak memperlihatkan baktimu. Kau jarang sekali menjenguknya, apalagi meringankan kesulitannya. Bahkan untuk sekedar menanyakannya lewat telepon, itupun enggan engkau lakukan. Engkau banyak meminta perhatiannya untukmu, tetapi sebaliknya, kau sering melupakannya. Yang ku tau dari kebaikanmu yang tersisa adalah doamu kepada Allah untuk mereka. Padahal engkau tahu, bahwa bakti kepada orang tua akan mengundang keberkahan, serta menyibak kesulitan.

Wahai diriku, engkau seolah mampu mengatasi masalahmu sendiri, karena itu kau merasa tidak butuh dengan orang lain. Engkau abaikan mereka dalam hidupmu. Engkau hanya bergaul dengan orang, yang kamu yakin akan menguntungkan dirimu dari sisi materi. Tinggalkanlah sifat ini, karena hanya kan merugikanmu suatu hari nanti. Perbaikilah hubunganmu dengan sesama manusia. Berkasih sayang lah dengan mereka, agar Allah dan para malaikat-Nya yang ada di atas langit sana, pun mengasihimu.

Tentang Kondisi Hatimu
Bagaimana pula dengan kondisi hatimu saat ini? Ini pertanyaanku selanjutnya. Aku menanyakan ini karna kita sama-sama paham, bahwa hatilah yang paling menentukan kebaikan dan keburukan seseorang.

Hati itu wahai diriku, sangat mudah dihinggapi sejumlah penyakit, yang disebut maksiat-maksiat hati. Penyakit ini tidak tampak oleh mata dan tak ada yang dapat mengetahuinya selain Allah swt. Penyakit ini juga tak dapat diintai oleh syetan sehingga ia bersorak riang karna kejelekannya. Dan malaikat pun tidak dapat mengetahuinya sehingga dia catat keburukan keburukannya. Yang dicatat oleh mereka hanyalah apa yang mereka saksikan dari amal perbuatan seorang hamba. Mereka sama sekali tidak mengetahui niat dan maksud seseorang, juga penyakit-penyakit yang ada di dalam hati, kecuali jika Allah menghendakinya.

Saat ini aku mulai mengkhawatirkan hatimu. aku takut ia telah terserang penyakit-penyakit itu. Sebab tanda-tandanya telah sudah banyak kurasakan, dan aku yakin engkau juga merasakan itu. Karenannya aku ingin mengungkapkan beberapa fakta agar aku bisa tahu sejauh mana kebenaran dugaanku ini.

Kemarin, engkau baru saja tertimpa musibah. dan aku melihatmu terduduk lesu sambil meneteskan air mata. Aku tidak menyalahkan sikapmu itu, karena wajar bagi orang yang terkena musibah untuk berduka. Yang aku sesalkan, kenapa engkau tidak sanggup menjaga lidahmu dari mengucapkan kata-kata ketus yang menyalahkan orang lain. Bahkan engkau merasa bahwa Allah tidak berpihak denganmu. Apakah ini pertanda bahwa hatimu sudah mulai bimbang atas kekuasaan dan kehendak Allah yang berlaku atas semua hamba-Nya? “Apakah kamu juga telah lupa dengan ayat, kebajikan apapun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apapun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa: 79)

Sekarang ini aku juga melihatmu sering iri dan dengki kepada saudara atau sahabatmu karena kelebihan harta yang mereka peroleh, atau pangkat yang mereka raih, atau jabatan yang mereka capai. Lupakah engkau bahwa itu semua hanya kesenangan dunia yang bersifat sementara dan akan segera lenyap? Mengapa dengan kesalihan orang lain justru engkau tidak pernah berkaca? Aku tidak pernah melihatmu iri dengan orang yang banyak menghapal Al Quran, atau dengan orang yang rajin shalat malam, atau dengan orang yang tekun berpuasa sunnah. Tidak pernah.

Masih banyak kejanggalan lain yang kurasakan di hatimu. Ada rasa bangga yang berlebihan, ada kesombongan, ada riya, penyakit yang paling berbahaya itu juga ada. Terlalu panjang jika aku beberkan semua. Karena itu mari berdoa, diriku. Kita memohon kepada Allah agar hati kita dijernihkan kembali, dari segala noda dan maksiat. “Ya Allah, Dzat yang membolak balikan hati. tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu dan ketaatan kepada-Mu”.

Tenatang Sikapmu dengan Dunia dan Segala Kemewahannya
Wahai diriku, ijinkan aku bertanya pada dirimu untuk yang terakhir kalinya: tentang kesibukanmu mencari dan mengumpulkan harta dan kemewahan dunia, yang akhir-akhir ini selalu membuatku risau.

Dalam banyak hal, engkau memang selalu terlihat bersemangat. Termasuk  mencari nafkah. Aku tidak mempermasalahkan yang ini, karena seorang mukmin memang harus selalu tampil semangat. Akan tetapi yang kutemukan sekarang, gaya hidup dan cara pandangmu terhadap perhiasan-perhiasan dunia itu  sudah mulai bergeser. Engkau menganggap bahwa segala sesuatu hanya bisa diukur dan diraih dengan harta. Ketenangan hati dengan harta. Kebahagiaan keluarga dengan harta. Pangkat, jabatan, dan kekuasaan juga dengan harta. Itu yang kini aku khawatirkan.

Aku juga mulai melihatmu  dihinggapi gejala wahn, penyakit yang sangat di khawatirkan Nabi saw menimpa kaumnya. Engkau sangat mencintai harta dan amat takut kehilangannya, sehingga membuatmu terlalu irit dan pelit. Engkau juga sudah meniru gaya hidup orang-orang yang jauh dari agama, yang dulu kau seru orang-orang untuk tidak terjebak dalam lingkaran mereka.

Pertanyaanku, apakah salah jika engkau memilih hidup sederhana meskipun engkau berpunya? Apakah engkau  khawatir mitra-mitra bisnismu atau lawan-lawan politikmu akan merendahkanmu? Aku yakin tidak. Bahkan kesederhanaan itu akan melahirkan izzah dan kemapanan iman. Rasulullah bersabda “ Sesungguhnya  kesederhanaan itu bagian dari iman.”

Indah sekali ucapan seorang  sahabat Amr bin Ash as, “Aku tidak bosan dengan pakaianku selama masih bisa dipakai. Aku tidak bosan dengan hewan tungganganku selama masih bisa membawaku. Dan aku tidak bosan dengan istriku, selama dia berbuat baik kepadaku. Sesungguhnya mudah bosan itu termasuk akhlak yang buruk.”

Renungkanlah ungkapan ini, wahai diriku. Sebab aku melihat matamu cepat silau dengan harta yang banyak. Lekas iri dengan yang diperoleh orang lain. kamu tidak pernah puas dengan apa yang diberikan Allah untukmu, untuk saat ini. Aku melihat dirimu terlalu berharap banyak dari perbendaharaan dunia, padahal beberapa tahun yang lalu kamu terlihat begitu tawadhu, rendah hati dan selalu berpaling dari jebakan dunia. Tapi kini, entah racun apa yang telah mengotori dirimu. Bahkan dalam shalat pun hatimu selalu khawatir jika suatu saat kontrak kerjamu diputus. Seolah-olah hidupmu hanya bergantung disitu saja.

Waspadalah dengan sihir dunia. Janganlah ia sampai menghinggapi hatimu. Cukup letakan ditangan mu saja, agar hidupmu selamat didunia dan di akhirat.

Wahai diriku, banyak peristiwa yang telah kita lewati. Maka rasionalitas kita harus bicara, nurani harus peka. Setiap kejadian memiliki memori, setiap perubahan memiliki makna, hanya bagaimana kia menerima semuanya itu dengan akal dan hati. Kita harus bisa menjadi pengatur yang baik bagi diri kita sendiri. Bukan diatur oleh keadaan yang selalu berubah.

Wahai diriku, kiranya sampai disini pertanyan-pertanyaanku. Ini semua tidak aku maksudkan untuk menyudutkanmu, melainkan karena aku begitu mencintaimu. Sebab, keselamatanmu adalah keselamatanku. Keselamatan kita. Aku tau ada banyak petikan kata yang membuatmu meneteskan air mata. Namun apa guna itu semua, kalau tidak ada perubahan yang bisa kau tunjukan padaku. Satu rakaat shalat witir yang kau biasakan dalam setiap malam yang kau lewat, lebih mulia di sisi Allah daripada kerja kerasmu menghimpun dunia dan segala isinya. Satu lembar Al Quran yang kau baca setiap hari, lebih Allah cintai daripada beribu-ribu lembar rupiah yang kau tumpuk di bank. Sepotong roti yang kau sedekahkan lebih Allah senangi dari segunung emas yang kau kumpulkan. Semoga Allah menyelamatkan diri kita, wahai diriku. 

Diambil dari tarbawi edisi 186


Keutamaan Menjaga Shalat Fardhu


Allah akan memuliakan orang yang menjaga shalat fardhunya dengan sembilan keutamaan.
Pertama, dia dicintai Allah
Kedua, badannya sehat selalu
Ketiga, keberadaannya selalu dijaga malaikat
Keempat, rumahnya diberkahi
Kelima, wajahnya menampakkan jati diri seorang shalih
Keenam, hatinya dilunakan oleh Allah
Ketujuh, dia akan menyebrang jembatan shirath seperti kilat
Kedelapan, dia akan diselamatkan oleh Allah dari api neraka
Sembilan, Allah akan menempatkannya di syurga bertetangga dengan orang orang yang tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidak pula bersedih hati

(Utsman bin Affan ra)

Diambil dari majalah Tarbawi edisi 228 kolom Qobasat-Petikan

Jumat, 15 April 2011

Empat Kesadaran dan Buahnya


Ali bin Abi Thalib ra pernah empat kesadaran yang membuahkan kesadaran lain.
Pertama, barang siapa merindukan surge, maka ia akan bersegera dalam melaksanakan kebaikan
Kedua, barang siapa takut akan siksa neraka, maka ia akan berhenti mengikuti hawa nafsunya
Ketiga, barang siapa meyakini datangnya kematian, maka ia tidak akan terlena dengan kesenangan duniawi
Keempat, barang siapa mengetahui bahwa dunia adalah negri cobaan, maka semua musibah yang menimpanya  akan terasa ringan

(Ali bin Abi Thalib ra)

Diambil dari majalah Tarbawi edisi 229 kolom Qobasat-Petikan

Lima Kegelapan dan Penerangnya



Kegelapan itu ada lima dan lampu penerangnya juga ada lima.
Pertama, cinta dunia adalah suatu kegelapan sedangkan penerangnya adalah ketaqwaan
Kedua, berbuat dosa adalah sebuah kegelapan sedangkan penerangnya adalah bertaubat
Ketiga, kubur adalah kegelapan sedangkan penerangnya adalah kalimat Laa ilaaha illallah
Keempat, alam akhirat itu penuh dengan kegelapan sedangkan penerangnya adalah amal shalih
Kelima, jembatan shirat merupakan kegelapan, sedangkan penerangnya adalah yaqin

(Abu bakar Ash Shidiq)

Diambil dari majalah Tarbawi edisi 207 kolom Qobasat-Petikan


Minggu, 10 April 2011

Terimalah Kelebihan dan Kekurangan


Diambil dari: Majalah Tarbawi edisi 233

Kolom Ruhaniyat

Telitilah, pikirkanlah tentang orang orang hebat itu. Yang mengukir hidupnya dengan tinta yang selalu nyata dalam lembar lembar sejarah. Telitilah sekali lagi dari sisi yang berbeda.

Kepandaian, keulungan, kehebatan, keluarbiasaan seseorang, bagaimanapun tetaplah dia manusia. Kita mungkin terpana dengan kehebatannya yang jarang dimiliki orang lain. Kita mungkin juga terkagum kagum dengan kebiasaannya yang tak banyak dipunya orang selainnya. Tapi, bagaimanapun ia tetap manusia.

Ada orang yang Allah swt berikan kemampuan berpikir dan menganalisa begitu dalam dan tajam dalam suatu masalah, tapi ia hampir tak mampu berbicara dan menyampaikan pandangannya dengan baik. Atau, kebalikannya, ada orang yang begitu mahirmenyampaikan pikirannya, sementara ketajaman pikiran dan analisanya bisa dikatakan standar saja. Ada orang terkenal murah hati, mudah member dan penuh belas kasih terhadapa orang yang memerlukannya. Tapi di sisi lain, ia penakut, penuh khawatir terhadap kemungkinan, dan cenderung memilih diamketimbang melakukan sesuatu yang baik tapi beresiko. Ada orang yang kaya dan memilki harta yang banyak, tapi ternyata ia mempunyai saudara yang miskin. Atau ada orang yang menghapal Al Quran dan bahkan banyak menghapal haidts haidts Rasulullah saw, tapi ia tak memiliki obsesi atau semangat berdakwah. Sementara ada orang yang semangat dan obsesi dakwahnya begitu tinggi, tapi ia minim hafalan Al Qurannya dan ilmu keislamannya. Apa yang kita pahami dari semua realitas ini?

Mari kita perhatikan sisi sisi hidup seperti itu, pada diri para ulama dan salafushalih. Adalah Imam Jalaluddin Al Mahalli seorang tokoh besar bermadzhab Syafi’I. Dia lah yang menulis buku tafsir terkenal berjudul “Al jalalin”. Tapi tahukah kita? Imam Jalaludin dalam riwayatnya disebutkan sebagai ulama yang lemah dalam hafalan. Disebutkan, beliau berupaya menghapal satu bagian dari satu buku, dan itu memerlukan waktu lama sekali. Sampai satu pekan lamanya, ia bahkan belum bisa menghapal satu lembarpun dari buku itu. Bahkan, karena upaya dan keseriusannya menghapal, iapun mengalami sakit demam dan mengeluh  pusing yang sangat di kepalanya. Ia pun lalu menyatakan, gagal menghafal buku yang ingin dihafalnya.

Ada pula Imam As Suyuti ra, Siapakah yang tak pernah mendengar nama ulama yang banyak menganalisa hadits haidts Rasululllah  saw ini? Ternyata Imam As Suyuti adalah orang yang sangat lemah dalam hitung menghitung. Atau, tokoh sekaliber Imam Ibnu Taimiyah yang pakar dalam ilmu hadits, fiqih, mengajar, menyampaikan fatwa sejakbeliau masih berusia 17 tahun. Bahkan Ibnu Taimiyah juga mendalami ilmu tafsir dan beragam ilmu Islam lainnya. Tapi, ia tidak memiliki ilmu qiraat atau ilmu pembacaan Al Quran yang berbeda beda.

Ada kisah lucu terkait hal ini, tentang Syaikh Khudhari Bek ra. Ia seorang ulama yang banyak menulis kitab tentang sejarah Rasulullah saw, sejarah para Kulafa Ar Rashidin, sejarah Daulau Umawiyah dan Abbasiyah. Ali Thanthawi memiliki kisah tentang  Khudhari Bek, katanya: “Syaikh Khudhari di akhir akhir usianya mengalami sakit. Ia menduga bahwa di dalam usus perutnya terdapat ular. Syaikh Khudhari berusaha melakukan konfirmasi tentang dugaan itu kepada dokter. Ia juga bertanya ke sejumlah ulama. Tapi umumnya mereka segan menerangkan penyakit yang di derita Syaikh Khudhari. Dengan maksud bergurau, mereka mengatakan, “di dalam ususnya ada sarang cacing, tidak mungkin sarang ular.” Tapi Syaikh Khudhari tidak percaya. Ia pun mencari ahli kedokteran yang kebetulan ahli kejiwaan. Setelah menyampaikan kisah dan keluhannya, sang dokter berusaha menerangkannya dengan menjadikannya tidak sadar. Setelah sadar, seorang dokter meletakan seekor ular kecil di hadapannya dan menggambarkan ular seperti itulah yang selama ini menjadikannya sakit. Melihat ular itu, air muka Syaikh Khudhari berseri seri. Tubuhnya menjadi segar dan ia merasa sehat bahkan bisa berjalan dan berloncat. Setelah sebelumnya ia mengeluh sakit. Setelah itu, Syaikh Khudhari tidak pernah sakit lagi (Shuwar wa Khowatir li syaikh Thanthawi, 17-26)

Kita umumny apernah mengenal nama Dale Carnegie. Ia tercatat telah memberikan sebanyak 150 ribu pidato dalam partisipasinya di berbagai program pendidikan. Ia mengenbangkan kursus keterampilan dasar hubungan antar manusia. Salah satu prinsipnya yang paling terkenal adalah: Lihatlah sesuatu dari perspektif orang lain. Berikan penghargaan dengan jujur dan tulus serta empati. Tapi ternyata Dale Carnegie bukan sosok yang dianggap sukses membina komunikasi di dalam rumah tangganya. Pernikahan pertamanya berakhir dengan perceraian, lalu ia menikah lagi yang berakhir dengan perceraian.

Apa yang kita pelajari dari semua hal ini? Kepandaian dan keluarbiasaan di satu sisi, yang menyimpan aib dan kekurangan di sisi lain. Kehebatan yang mengagumkan banyak orang yang menutupi sisi kelemahan dan megherankan banyak orang. Semuanya meneguhkan dan menunjukan bahwa tak ada yang sempurna dalam hidup yang diciptakan Allah swt. Tidak ada kesempurnaan, keluarbiasaan, kehebatan sejati kecuali milik Allah swt.

Ketidak sempurnaan ini adalah milik kita semua. Dan itu menyebabkan tak satupun dari kita layak menyandang rasa sombong atau prestasi, pendapat atau pemikiran atau apapun. Itu sebabnya juga Allah swt meski menempatkan Rasulullah saw di tempat yang sangat mulia di hati kita namun Rasulullah juga bersabda: “Innii basyarun ansaa kamaa tansauun,” aku ini adalah manusia yang bisa lupa sebagaimana kalian juga.

Barangkali, hikmah lain yang penting juga kita sadari adalah, tidak begitu mudah  mengagungkan sosok orang secara berlebihan, srbagaimana tidak gampang menjatuhkan vonis yang merendahkan dan menjatuhkan oarng yang semula dikenal mempunyai kelebihan. Menerima, bahwa seorang yang dimudahkan Allah swt memiliki sebuah keistimewaan, tetap memiliki kekurangan, yang tidak menghapus keistimewaannya itu.

Pujilah Allah swt atas karunia-Nya yang luar biasa kepada kita. Dan bertanyalah pada diri sendiri, apa yang sudah kita tulis di lembar lembar hidup kita sekarang