Diambil dari: Majalah Tarbawi edisi 228
Kolom Ruhaniyat
“Jika seorang hamba-Ku senang bertemu dengan-Ku, maka Aku pun senang bertemu dengannya. Tapi apabila ia tidak suka bertemu dengan-Ku, maka Aku pun tidak suka bertemu dengannya” (Hadits Qudsi riwayat Al Bukhari )
Adakah di antara kita yang lebih menyukai mati ketimbang hidup? Dalam kondisi normal, rasanya tak mungkin ada. Istri Rasulullah saw, Aisyah ra, pernah mempertanyakan soal ini kepada suaminya. “ Kami pasti takut pada kematian” ujarnya. Ia mengira hadits hadits Rasulullah saw terkait karahiyatul maut (membenci dan takut akan kematian) memiliki arti bahwamanusia harus cinta pada mati, dan tidak boleh takut pada kematian. Sementara dari dalam hatinya, Aisyah ra merasakan takut dan tidak suka dengan yang namanya mati.
Rasulullah menjawab perkataan istrinya itu. “Bukan itu mkasudnya. Tapi bila waktu kematian telah menjemput seorang mukmin. Maka ia diberikan berita gembira dengan keridhaan Allah dan kemuliaan dari Allah swt. Ketika itulah, tidak ada sesuatupun yang paling ia cintai dibandingkan apa yang ada dihadapannya. Maka ia menjadi senang bertemu dengan Allah, dan Allah pun menjadi senang bertemu dengannya. Sedangkan orang kafir, bila kematian menjemputnya, ia akan disampaikan berita tentang adzab Allah dan siksa-Nya. Lalu tak ada sesuatupun yang paling ia takutidan dibencinya, melebihi apa yang ada di hadapannya. Ia benci bertemu Allah dan Allah pun benci bertemu dengannya.” (HR. Bukhari)
Bertemu dengan Allah swt. Semua kita pasti merindukannya. Dengan catatan, pertemuan itu merupakan pertemuan ridha dan pertemuan cinta. Keridhan dari Allah swt untuk kita hamba-Nya. Kecintaan dari kita untuk Allah swt sebagai rabb Yang Maha Pengasih kepada hamba-Nya.
Jika kita merindukan pertemuan dengan Allah swt. Sebenarnya pertemuan itu tak hanya dibatasi oleh habisnya usia kita dengan kematian di atas jalan Nya. Tidak hanya itu. Tapi pertemuan itu bisa kita rasakan dan bisa kita nikmati, sejak di dunia ini, saat kit amasih menghirup dan mengeluarkan napas. Yakni ketika mendirikan shalat.
Shalat adalah mediator paling indah yang menyambung pertemuan kita dengan Allah swt. Sehingga tidak mengherankan ketika Rasulullah saw dan para sahabat Rasulullah saw menanti-nanti datangnya waktu shalat. Rasulullah bersabda “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia.’” (HR Muslim drai Abu Hurairah)
Hadits ini akan lebih terasa kandungannya, bila waktu menunggu shalat itu dilihat dari sudut yang lebih luas. Tidak sekadar diartikan sekadar menunggu shalat, tapi menempatkan semua aktivitas hidup dalam kerang ka menunggu datanganya waktu shalat. Hingga kesimpulannya, bahwa hidup kita ini, sebarnya, hanyalah merupakan perpindahan dari satu shalat ke shalat lainnya.
Jika kita sudah merasakan rindu berjumpa dengan Allah, maka Allah pun mulai rindu kepada kita. Jika Allah telah merindukan kita bukan berarti kita mencari cara untuk segera mati dan umur kita dipendekkan oleh Allah swt. Boleh jadi, justru Allah swt menambah panjangkan umur seseorang agar semakin lama semakin mendapatkan kemuliaan dalam hidupnya di dunia. Allah terus biarkan dia hidup dalam kerinduan yang panjang, dan Allah beri dia kemudahan dalam kehidupan di dunianya, sebelum akhirnya dia meninggal dan memasuki alam barzakh yang akan semakin indah baginya.
Menunggu datangnya waktu shalat, bahkan bisa menumbuhkan suasana khusyu saat shalat. Karena di saat itulah seseorang berusaha mengosongkanhati dan pikiran untuk menyongsong datanganya shalat. Perlu pengkondisian yang cukup agar seseorang merasakan kekhusyukan shalat yang hanya bisa diperoleh saat seseorang tidak terburu buru hadir dalam shalat.
Suasana hati dan pikiran yang tenang itu menyebabkan Islam tidak menyukai pemberian hidangan makanan menjelang shalat, atau shalat dalam kondisi lapar. Itu sebabnya kita dianjurkan untuk tidak dalam kondisi menahan buang air kecil atau air besar saat melakukan shalat sebab itu sangat mengganggu kekhusyukan shalat. Dari Iyas bin Salmah bin Al Akwa’ dari ayahnya, disebutkan bahwa Rasulullah saw, “Bila datang waktu shalat dan waktu makan, dahulukanlah makan terlebih dahulu.” (HR. Ahmad). Aisyah juga mengutip sabda Rasulullah saw “Hendaknya kalian tidak shalat saat disuguhi makanan. Dan tidak dalam kondisi menahan untuk membuang air kecil dan air besar.” (HR Al Hakim). Untuk menghindari berbagai gangguan tersebut, Abdullah bin Umar ra tidak membiarkan di tempat shalatnya tersedia buku, pedang bahkan mushaf. Semuanya ia singkirkan agar tidak mengganggu pertemuannya dengan Allah swt.
Buktikan kerinduan itu disini. Jika kita merindukan Allah, kita akan selalu menunggu berjumpa degan-Nya dan akan selalu menunggu perjumpaan itu. Idzaa ahabba abdii liqaa-ii ahbabtu liqaa-ahu. Wa idzaa kariha liqaa-ii karihtu liqaa-ahu. “Jika seorang hamba-Ku senang bertemu dengan-Ku, maka Aku pun senang bertemu dengannya. Tapi apabila ia tidak suka bertemu dengan-Ku, maka Aku pun tidak suka bertemu dengannya” (Hadits Qudsi riwayat Al Bukhari )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar